SERAYUNEWS – Ekstrakurikuler bukan sekadar pelengkap dalam dunia pendidikan. Kegiatan ini menjadi ruang ekspresi, pengembangan minat, dan sarana aktualisasi diri bagi siswa di luar jam pelajaran.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 62 Tahun 2014, kegiatan ekstrakurikuler bersifat kurikuler dan dijalankan di bawah bimbingan serta pengawasan sekolah.
Jenisnya pun beragam—mulai dari olahraga, seni, kepramukaan, hingga sains dan pecinta alam. Namun, seiring idealisme tersebut, realitanya di lapangan tidak selalu mulus.
Banyak sekolah, terutama di daerah, menghadapi berbagai kendala saat mengimplementasikan kegiatan ini.
Dari kurangnya fasilitas hingga minimnya minat siswa, berikut adalah rangkuman hambatan paling umum dalam pelaksanaan ekstrakurikuler, dikaji dari sudut pandang manajerial dan teknis.
Meski penuh tantangan, bukan berarti ekstrakurikuler tak bisa dioptimalkan. Dukungan dari pemerintah dan kolaborasi dengan pihak luar seperti komunitas, perguruan tinggi, dan dunia industri bisa menjadi solusi.
Sekolah juga bisa berinovasi dengan mengemas kegiatan lebih menarik, relevan dengan tren masa kini, dan fleksibel sesuai minat siswa.
Keterlibatan aktif orang tua juga penting—bukan hanya dalam hal pendanaan, tetapi juga pemahaman terhadap manfaat ekstrakurikuler sebagai bagian dari pembentukan karakter dan soft skill siswa.
Selain itu, pemanfaatan teknologi seperti platform daring untuk ekstrakurikuler kreatif bisa menjadi alternatif murah dan efektif.
1. Sarana dan Prasarana Masih Minim
Salah satu hambatan utama adalah keterbatasan fasilitas penunjang. Banyak sekolah yang belum memiliki ruang atau peralatan memadai untuk menjalankan program ekstrakurikuler.
Misalnya, kegiatan sains membutuhkan laboratorium, eksperimen, atau alat penunjang lain. Namun, kondisi ini belum bisa dinikmati oleh seluruh sekolah di Indonesia, terutama di wilayah terpencil.
Tak hanya itu, untuk ekstrakurikuler olahraga, lapangan yang tidak layak atau alat yang rusak menjadi penghambat utama.
Kesenian pun serupa—alat musik, bahan lukis, atau kostum tari kerap kali jadi masalah. Tanpa sarana yang memadai, semangat siswa pun bisa luntur sejak awal.
2. Koordinasi yang Kurang Efektif
Ekstrakurikuler bukan kerja satu orang. Perlu sinergi dari kepala sekolah, guru, wali kelas, pembina kegiatan, hingga orang tua. Sayangnya, komunikasi antar pihak ini tidak selalu berjalan baik.
Banyak program berjalan hanya sebagai formalitas karena kurangnya koordinasi awal dan perencanaan matang.
Dalam praktiknya, ada sekolah yang menjalankan program ekstrakurikuler hanya untuk memenuhi beban administrasi, bukan karena dorongan pengembangan potensi siswa. Hal ini tentu mengurangi efektivitas dan keberlanjutan program.
3. Rendahnya Minat dan Partisipasi Siswa
Minat siswa menjadi faktor kunci sukses tidaknya sebuah kegiatan. Bila siswa tidak antusias, maka sebaik apa pun program yang dirancang akan sulit berjalan.
Menurut Indrianjani (2023), beberapa siswa merasa lelah setelah pelajaran reguler, atau justru menganggap ekstrakurikuler sebagai beban tambahan.
Di era digital saat ini, anak-anak cenderung lebih tertarik pada aktivitas online, sehingga program sekolah yang kurang inovatif cenderung ditinggalkan.
Padahal, jika dikemas dengan menarik, ekstrakurikuler bisa menjadi wadah eksplorasi yang menyenangkan dan bermanfaat.
4. Minimnya Kerja Sama Antarpihak
Legiman (2019) dalam penelitiannya menggarisbawahi pentingnya sinergi dan pengawasan yang terstruktur dalam pelaksanaan ekstrakurikuler.
Sayangnya, banyak sekolah belum menjalankan fungsi evaluasi kegiatan secara berkala.
Padahal, tanpa dukungan dari guru, orang tua, dan manajemen sekolah, siswa akan kehilangan semangat untuk berpartisipasi.
Misalnya, orang tua yang tidak memahami manfaat ekstrakurikuler bisa melarang anaknya untuk ikut karena dianggap membuang waktu.
Atau guru yang terlalu sibuk dengan tugas administratif, sehingga tidak bisa mendampingi siswa secara maksimal.
5. Masalah Anggaran yang Tak Kunjung Usai
Faktor finansial menjadi penghalang klasik. Banyak kegiatan membutuhkan dana tambahan, seperti untuk pembelian alat, honor pembina dari luar, hingga transportasi jika ada kegiatan luar sekolah.
Namun, tidak semua sekolah memiliki dana khusus untuk itu. Beberapa sekolah bergantung pada iuran sukarela atau dana BOS, yang tentu terbatas.
Tanpa anggaran yang memadai, kualitas kegiatan pun sulit ditingkatkan, dan siswa tidak mendapatkan pengalaman belajar yang optimal.
6. Kekurangan Tenaga Ahli
Terakhir, kendala yang cukup krusial adalah minimnya pembina atau pelatih yang memiliki keahlian khusus.
Misalnya, untuk ekstrakurikuler robotika, sains terapan, atau seni pertunjukan, sangat dibutuhkan pengajar dengan kompetensi spesifik.
Sayangnya, guru dengan kualifikasi seperti itu masih jarang, apalagi di sekolah negeri di daerah.
Dalam beberapa kasus, guru dari bidang lain terpaksa mengisi peran pembina, meskipun tidak sesuai keahlian. Hal ini membuat program menjadi kurang maksimal dan tidak menarik bagi siswa.
Kesimpulan
Hambatan dalam implementasi ekstrakurikuler memang nyata dan kompleks.
Namun, dengan komitmen bersama dan kreativitas dalam pengelolaan, kegiatan ini tetap bisa menjadi pilar penting dalam pendidikan karakter dan pengembangan bakat siswa.
Kini, tantangannya bukan hanya soal sarana, tapi bagaimana Anda—guru, orang tua, dan kepala sekolah—bisa melihat potensi besar yang tersembunyi di balik kegiatan ini.***