SERAYUNEWS – Jika Anda merasa udara pagi belakangan ini terasa lebih menusuk dari biasanya, Anda tidak sendirian. Pasalnya, banyak yang bertanya-tanya mengenai apa itu bediding?
Fenomena ini kembali mencuat ke permukaan seiring dengan beredarnya pesan berantai di grup WhatsApp yang menyebutkan bahwa suhu dingin di beberapa wilayah Indonesia disebabkan oleh aphelion, yakni saat bumi berada di titik terjauhnya dari matahari.
Namun, BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) membantah klaim tersebut. Lantas, apa sebenarnya penyebab utama suhu dingin ini?
BMKG menegaskan bahwa aphelion, yang terjadi pada 4 Juli 2025 lalu, bukan penyebab utama suhu dingin yang dirasakan saat ini.
Aphelion memang menyebabkan jarak bumi ke matahari menjadi sedikit lebih jauh, namun perbedaannya hanya sekitar 3 persen dibandingkan perihelion (jarak terdekat bumi ke matahari).
Perbedaan ini terlalu kecil untuk menyebabkan perubahan suhu yang signifikan di permukaan bumi.
Justru, fenomena atmosfer seperti tutupan awan minim, kelembapan rendah, dan angin muson timur memiliki pengaruh lebih besar terhadap suhu udara di Indonesia.
BMKG menjelaskan bahwa bediding adalah fenomena umum yang terjadi setiap kali Indonesia memasuki musim kemarau, biasanya antara Juli hingga September.
Penurunan suhu terjadi karena beberapa faktor atmosfer yang bekerja bersamaan, bukan karena jarak bumi dari matahari.
Menurut BMKG, hawa dingin di wilayah selatan khatulistiwa—seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara—dipengaruhi oleh kombinasi berikut:
Wilayah seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi yang paling terdampak oleh fenomena bediding.
Angin muson timur dari Australia yang bertiup ke wilayah-wilayah ini membawa suhu yang lebih rendah, terutama saat malam dan dini hari.
Menariknya, meski udara terasa dingin di pagi hari, suhu udara bisa melonjak tajam di siang hari.
Hal ini karena langit yang cerah memungkinkan sinar matahari menembus langsung ke permukaan bumi tanpa terhalang awan, menghasilkan kondisi yang terik dan panas pada siang hari—kontras dengan dinginnya pagi.
BMKG memprediksi bahwa fenomena bediding akan berlangsung hingga puncak musim kemarau berakhir, yaitu sekitar Agustus hingga awal September 2025.
Setelah itu, suhu udara perlahan akan menghangat kembali seiring dengan datangnya musim peralihan menuju musim hujan.
Namun demikian, BMKG juga mencatat adanya anomali cuaca pada musim kemarau tahun ini.
Beberapa wilayah mengalami kemarau basah, yakni curah hujan yang lebih tinggi dari normal meski secara iklim berada di periode kemarau.
Hal ini disebabkan oleh suhu muka laut yang tetap hangat dan aktivitas gelombang atmosfer yang intens.
Karena cuaca musim kemarau kali ini tidak sepenuhnya kering, BMKG mengingatkan masyarakat untuk tetap waspada terhadap potensi cuaca ekstrem, seperti:
BMKG juga mendorong masyarakat untuk terus memantau perkembangan cuaca melalui kanal resmi.
Misalnya, seperti website BMKG (www.bmkg.go.id), aplikasi InfoBMKG, atau akun media sosial @infobmkg. Semoga informasi ini bermanfaat untuk Anda.***