SERAYUNEWS – Sebuah unggahan video dari akun TikTok @ibnuwardani mendadak viral di berbagai platform media sosial usai memperkenalkan sebuah produk jilbab yang diklaim sebagai jilbab halal pertama di Indonesia.
Produk tersebut merupakan hasil usaha dari sang ibu, yang disebut telah mengantongi sertifikat halal resmi dan menjadi pelopor dalam penerapan prinsip halal dalam industri modest fashion di Tanah Air.
Meski disambut antusias oleh sebagian netizen, kemunculan label “jilbab halal” ini juga menimbulkan beragam pertanyaan dan kebingungan di kalangan warganet.
Salah satu komentar populer muncul dari akun menfess Twitter (kini X) @tanyakanrl yang mempertanyakan konsep di balik istilah tersebut.
Ia menulis, “Konsep jilbab halal itu kek gimanaa? Maksudnya selain jilbab merek ini tuh nggak halal apa?”
Tanggapan atas pertanyaan ini pun berdatangan, salah satunya dari akun @xiaomeyourlove yang mencoba menjelaskan secara ringkas namun informatif.
Ia menyebut bahwa sertifikasi halal bukan hanya menyasar makanan atau minuman, tapi juga proses produksi barang lain, termasuk fashion.
“Halal tuh bukan soal dimakan doang, tapi proses produksinya, kimia yang dipakai, serat kainnya, pewarnanya, itu dicek juga, apakah halalan thayyiban atau enggak,” tulisnya.
Istilah “halal” dalam konteks fashion memang belum sepopuler dalam industri makanan dan kosmetik.
Namun sebenarnya, prinsip halal juga bisa diterapkan pada produk fesyen seperti jilbab, gamis, sarung, maupun baju koko.
Yang dinilai bukan hanya bahan dasarnya saja, tapi seluruh rangkaian proses produksi hingga distribusinya.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menetapkan beberapa titik kritis dalam proses sertifikasi halal produk fashion, antara lain:
Dengan proses audit ketat inilah, produk fesyen seperti jilbab bisa dinyatakan halalan thayyiban—yakni tidak hanya halal secara hukum agama, tetapi juga baik dan aman digunakan.
Perlu digarisbawahi bahwa belum adanya sertifikat halal pada suatu produk bukan berarti produk tersebut otomatis haram.
Sertifikasi halal merupakan bentuk jaminan tambahan bagi konsumen, namun bukan satu-satunya standar.
Sebagian besar produk fesyen—selama tidak mengandung unsur haram seperti kulit babi, anjing, gelatin dari hewan tak halal, atau pewarna dari darah—tetap bisa digunakan oleh umat Muslim.
Jadi, jika Anda memiliki jilbab atau sarung dari brand yang belum tersertifikasi halal, bukan berarti Anda berdosa mengenakannya.
Namun, sertifikat halal menjadi nilai tambah yang memberikan ketenangan batin dan kepercayaan bagi konsumen, terutama mereka yang ingin lebih selektif dalam memilih apa yang mereka pakai.
Sebelum produk jilbab milik keluarga Ibnu Wardani ini viral, sebenarnya ada beberapa merek fashion lokal lain yang sudah lebih dulu mengantongi sertifikasi halal.
Misalnya, produk sarung dari brand ternama seperti BHS dan ATLAS. Kedua merek ini dinilai telah memenuhi seluruh standar kehalalan mulai dari benang, proses pewarnaan, hingga distribusinya.
Langkah ini membuka jalan bagi pelaku usaha modest fashion lain di Indonesia untuk lebih peduli pada aspek kehalalan produk mereka.
Terlebih, konsumen Muslim kini semakin sadar akan pentingnya transparansi dan kepatuhan syariat dalam produk yang mereka konsumsi maupun kenakan.
Fenomena viralnya jilbab halal dari keluarga Ibnu Wardani bukan hanya menjadi topik hangat di media sosial, tetapi juga mengangkat kembali pentingnya pemahaman akan konsep halal dalam berbagai aspek kehidupan.
Di tengah meningkatnya kesadaran konsumen Muslim, sertifikasi halal pada produk fashion bisa menjadi bentuk tanggung jawab produsen dalam memberikan jaminan mutu dan kehalalan.
Namun, perlu diingat bahwa label halal bukan untuk menghakimi produk lain yang belum memiliki sertifikasi.
Sebaliknya, ini adalah pilihan yang bisa diambil oleh pelaku industri untuk membangun kepercayaan pasar yang lebih luas.***