
SERAYUNEWS – Di jalan raya, Anda mungkin pernah merasa diawasi oleh sekelompok orang yang tampak memperhatikan pelat nomor kendaraan satu per satu. Lantas, apa itu mata elang?
Aktivitas ini kerap memicu rasa tidak nyaman, bahkan ketakutan, terutama bagi pengendara yang memiliki cicilan kendaraan.
Di tengah masyarakat, kelompok tersebut dikenal dengan sebutan mata elang atau matel. Istilah mata elang bukan hal baru.
Namun, masih banyak masyarakat yang belum memahami secara utuh apa itu mata elang, apa kewenangannya, serta apakah praktik yang mereka lakukan benar-benar sah menurut hukum.
Padahal, pemahaman ini penting agar Anda tidak mudah terintimidasi dan tetap terlindungi secara hukum.
Mata elang adalah istilah populer untuk debt collector lapangan yang bekerja atas kuasa perusahaan pembiayaan atau lembaga kredit.
Fokus utama mereka adalah menagih tunggakan cicilan, khususnya kredit kendaraan bermotor seperti sepeda motor dan mobil.
Julukan “mata elang” muncul karena cara kerja mereka yang aktif memantau kendaraan di ruang publik, mulai dari jalan raya, area parkir, hingga kawasan permukiman.
Meski demikian, secara hukum, mata elang bukan aparat negara dan bukan penegak hukum. Mereka hanyalah pihak ketiga yang mendapat tugas dari kreditur.
Mengacu pada keterangan resmi Kanwil Kementerian Hukum RI NTB, penarikan kendaraan oleh debt collector hanya dapat dilakukan jika terdapat perjanjian fidusia yang sah dan terdaftar.
Kemudian, dibuktikan dengan sertifikat jaminan fidusia elektronik. Tanpa dasar hukum tersebut, penarikan kendaraan tidak memiliki kekuatan hukum.
Keberadaan mata elang pada dasarnya tidak dilarang, tetapi tindakan mereka dibatasi secara ketat oleh hukum.
Artinya, profesinya boleh ada, namun caranya tidak boleh melanggar aturan.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 menegaskan bahwa penarikan objek jaminan fidusia tidak boleh dilakukan secara sepihak, apalagi jika debitur menyatakan keberatan atau tidak mengakui adanya wanprestasi.
Dalam kondisi tersebut, penyelesaian harus melalui mekanisme hukum, bukan penarikan langsung di jalan.
Selain itu, menurut PID Polda Kepri, tugas debt collector sejatinya hanya menagih utang, bukan melakukan tekanan, ancaman, atau kekerasan.
Penagihan wajib dilakukan dengan cara yang manusiawi dan sesuai etika. Masalah muncul ketika praktik di lapangan justru menyimpang.
Penarikan paksa, intimidasi, hingga tekanan psikologis inilah yang membuat mata elang sering dipersepsikan negatif oleh masyarakat, meskipun tindakan tersebut tidak dibenarkan oleh regulasi.
Agar tidak salah bersikap, berikut beberapa ciri umum mata elang di lapangan:
Jika seseorang mengaku sebagai mata elang namun tidak dapat menunjukkan identitas dan dokumen fidusia, Anda patut waspada.
Berhadapan dengan mata elang tidak harus berujung konflik. Ada langkah-langkah yang bisa Anda lakukan agar tetap aman dan terlindungi.
1. Ketahui Posisi Hukum Anda sebagai Debitur
Sebagai debitur, Anda berhak mengetahui isi perjanjian kredit dan memastikan apakah kendaraan Anda dijaminkan melalui fidusia. Anda juga berhak meminta mata elang menunjukkan:
Jika dokumen tersebut tidak ada atau Anda merasa keberatan, penarikan dapat ditolak secara sah.
2. Jangan Hadapi Sendiri Jika Merasa Tertekan
Dikutip dari buku Utang Cerdas Masa Depan Kaya karya Stanley Christian, tekanan mental saat berhadapan dengan debt collector kerap membuat debitur panik.
Jika Anda merasa tidak siap, mintalah pendampingan dari YLKI atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di daerah Anda.
Pendampingan ini dapat membantu proses negosiasi sekaligus memberi rasa aman secara hukum.
3. Debt Collector Tidak Memiliki Hak Menyita
Perlu diluruskan, penyitaan bukan kewenangan debt collector, bank, maupun polisi. Penyitaan hanya dapat dilakukan melalui putusan pengadilan.
Itulah sebabnya, banyak perusahaan pembiayaan memilih jalur negosiasi daripada membawa perkara ke meja hijau.
4. Negosiasi Selalu Menjadi Pilihan
Negosiasi sering kali menjadi solusi terbaik. Debitur dapat mengajukan:
Selama komunikasi berjalan baik, perusahaan pembiayaan umumnya terbuka terhadap solusi damai.
5. Pastikan Sertifikat Jaminan Fidusia Ada
Berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 1999, perjanjian fidusia wajib didaftarkan melalui notaris dan diterbitkan sertifikatnya. Tanpa sertifikat tersebut, penarikan kendaraan tidak sah.
Jika kendaraan ditarik secara paksa tanpa dokumen fidusia, tindakan itu dapat dikategorikan sebagai perampasan dan berpotensi dijerat Pasal 368 atau Pasal 365 KUHP.
6. Tetap Beritikad Baik Melunasi Kewajiban
Meski memiliki perlindungan hukum, debitur tetap berkewajiban melunasi utang.
Utang Cerdas Masa Depan Kayamenekankan bahwa itikad baik untuk membayar, meskipun melalui cicilan atau negosiasi, adalah langkah yang tepat secara moral dan hukum.***