SERAYUNEWS – Acara kelulusan siswa SMK Citra Bangsa Mandiri (CBM) Purwokerto mendapatkan sorotan, karena digelar bak wisuda perguruan tinggi. Bahkan lengkap dengan atribut toga serta prosesi sidang senat terbuka, dan guru bak seorang profesor dan guru besar.
Video yang tersebar masif di media sosial menjadikan polemik. Kecenderungan warganet mengkritisi penyelenggaraan acara tersebut. Mereka mempertanyakan esensi dan urgensi dari wisuda oleh jenjang pendidikan SMK.
Menanggapi fenomena tersebut, pengamat pendidikan Universitas Islam Negeri Prof Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, Prof. Dr. H. Fauzi, M.Ag menyampaikan bahwa, wisuda itu diselenggarakan sebagai pelantikan orang yang telah selesai studi.
“Jadi kalau menyelenggarakan wisuda, siapapun lembaga berhak menyelenggarakan,” kata Prof Fauzi, Rabu (14/05/2025).
Sehingga, acara wisuda di luar perguruan tinggi sah-sah saja selama memiliki dasar regulasi dan disosialisasikan kepada seluruh pemangku kepentingan.
“Ini bukan hal baru, hanya formulasinya yang berbeda-beda di tiap lembaga. Yang penting jangan sampai membebani siswa hanya demi penampilan seremoni,” katanya.
Hanya saja, kata Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) UIN Saizu ini, mempertanyakan mengenai istilah senat terbuka, serta atribut yang menyerupai dengan yang digunakan di universitas.
Apakah di tingkat SMK ada struktur senat akademik, yang secara regulatif berwenang menggelar prosesi tersebut.
Sedangkan soal atribut yang digunakan, menurutnya setiap lembaga memang bisa menentukan sendiri, namun perlu mempertimbangkan urgensinya.
“Istilah senat adalah lembaga normatif yang memiliki kewenangan menggelar sidang senat terbuka. Kalau meniru kenapa harus begitu? Esensinya apa? Misalkan untuk motivasi anak melanjutkan kuliah bisa jadi, tapi kalau hanya ikut-ikutan lebih baik dipertimbangkan ulang,” kata dia.
Lebih lanjut dia menjelaskan, bahwa secara tradisi, wisuda itu identik dengan kelulusan sarjana. Tetapi diakuinya bahwa kini terdapat pergeseran makna. Bahkan lembaga pendidikan non-formal hingga taman kanak-kanak pun mengadopsi tradisi serupa.
“Dalam aspek sosiologis, kegiatan wisuda tidak semata-mata di perguruan tinggi. SMA, SMK, hingga TK pun menyelenggarakan sebagai bentuk pengakuan telah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu,” ujarnya.
Lebih lanjut dijelaskan, tradisi wisuda berasal dari universitas klasik seperti Oxford dan Cambridge di Inggris, yang membawa tradisi toga dan jubah dari pengaruh budaya Italia. Namun, pelaksanaan tradisi itu di Indonesia tetap perlu melihat secara kontekstual.
“Atribut wisuda mengalami perubahan sesuai kesepakatan masing-masing lembaga. Misalnya topi toga lazimnya segi lima, tapi di ITB bentuknya bulat. Bahkan di beberapa UIN ada yang pakai peci,” katanya.
Ia menegaskan yang terpenting dari sebuah prosesi kelulusan adalah bagaimana membekali siswa dengan kesiapan mental dan softskill pasca lulus, bukan hanya sekadar seremoni.
“Saya tidak mengatakan itu tidak baik, tapi perlu mempertimbangkan urgensinya. Yang penting adalah mempromosikan kehidupan pasca studi, membangun kesiapan mental, dan mempersiapkan studi lanjut atau dunia kerja,” kata dia.