SERAYUNEWS – Ledakan dahsyat mengguncang Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Garut, Jawa Barat, pada Senin (12/5/2025).
Insiden ini terjadi saat TNI tengah melakukan pemusnahan amunisi yang sudah tidak layak pakai. Tragisnya, 13 nyawa melayang dalam kejadian ini—sembilan warga sipil dan empat anggota TNI AD.
Peristiwa tersebut bukan hanya mengejutkan publik, tapi juga memicu rasa penasaran banyak orang: bagaimana sebenarnya prosedur pemusnahan amunisi kedaluwarsa yang benar? Apakah prosedur itu sudah dijalankan sesuai standar?
Sebelum membahas proses pemusnahan, Anda perlu memahami bahwa amunisi bukan sekadar peluru atau bahan peledak biasa.
Menurut Kementerian Pertahanan, amunisi adalah benda berisi bahan peledak, kimia, biologi, atau radioaktif yang dirancang untuk menghancurkan sasaran.
Jika kondisinya sudah tidak stabil, rusak, atau membahayakan, maka amunisi tersebut wajib dimusnahkan.
Tapi prosesnya tidak bisa sembarangan—ada prosedur panjang dan tim khusus yang harus terlibat.
Pemusnahan amunisi biasanya dilakukan oleh instalasi khusus: bisa tingkat lapangan, daerah, atau pusat.
Dalam pelaksanaannya, hanya tim dengan keahlian teknis dan pengalaman yang boleh menangani amunisi kadaluarsa. Proses ini terbagi dalam beberapa tahapan:
1. Pemeriksaan dan Klasifikasi
Semua amunisi yang dianggap tidak layak akan diperiksa terlebih dahulu. Jika hanya rusak ringan, bisa saja diperbaiki.
Tapi jika tergolong rusak berat atau berisiko tinggi, amunisi itu harus segera disingkirkan untuk dimusnahkan.
2. Penyingkiran dan Pengelompokan
Amunisi yang tidak dapat diperbaiki dipindahkan dari gudang aktif. Pengelompokan ini penting untuk mencegah tercampurnya amunisi rusak dengan yang masih bisa digunakan.
3. Persetujuan Pemusnahan
Pemusnahan tidak boleh dilakukan tanpa restu dari pejabat berwenang. Namun, dalam kondisi darurat yang mengancam keselamatan, tindakan bisa dilakukan lebih cepat.
4. Metode Pemusnahan
Dua metode utama digunakan: pembakaran atau peledakan. Pemilihan metode tergantung pada jenis amunisi, lokasi, dan risiko keamanan.
Biasanya, pemusnahan dilakukan di tempat khusus seperti bungker atau area terbuka yang jauh dari permukiman.
Ledakan di Garut terjadi saat tim sedang mempersiapkan pemusnahan detonator—komponen sensitif dari amunisi.
Artinya, ledakan terjadi bahkan sebelum proses pemusnahan dimulai. Meski sudah menggunakan SOP, peristiwa ini menunjukkan bahwa risiko tetap mengintai.
Kepala Staf TNI AD, Jenderal Maruli Simanjuntak, menegaskan bahwa disposal amunisi adalah proses yang panjang dan harus dilakukan dengan kehati-hatian ekstra.
Amunisi yang disimpan bertahun-tahun bisa mengalami penurunan stabilitas, sehingga penanganannya harus sangat cermat.
Setelah insiden ini, wajar jika publik menuntut transparansi dan evaluasi prosedur. Apakah lokasi pemusnahan cukup jauh dari pemukiman?
Apakah ada sistem pengamanan yang memadai? Apakah warga sekitar diberi peringatan sebelumnya? Pihak berwenang kini tengah menyelidiki penyebab pasti ledakan.
Lalu, banyak kalangan berharap prosedur pemusnahan di masa mendatang dilakukan dengan pengawasan ketat serta komunikasi yang lebih baik kepada warga.
Pemusnahan amunisi bukan hal sepele. Prosesnya harus mengutamakan keselamatan manusia dan lingkungan.
Kecelakaan di Garut menjadi pengingat pahit bahwa satu kelalaian kecil bisa berujung petaka besar. Sebagai warga, Anda berhak mengetahui aktivitas berisiko tinggi di sekitar tempat tinggal.
Jika ada kegiatan militer seperti ini, penting bagi aparat untuk melakukan sosialisasi agar warga bisa mengambil langkah pencegahan.***