SERAYUNEWS – Berkecimpung dalam dunia usaha memerlukan perencanaan yang matang serta kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap berbagai perubahan.
Tak jarang, perusahaan besar yang sudah memiliki nama pun harus menelan pil pahit berupa kebangkrutan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa tak ada jaminan kesuksesan yang abadi dalam bisnis.
Perubahan tren, manajemen internal, dan kondisi eksternal bisa menjadi pemicu kehancuran.
Sejumlah nama besar yang dulunya begitu familiar pun kini hanya tinggal kenangan.
Sejumlah merek besar yang dulu dikenal luas di Indonesia kini tidak lagi beroperasi karena berbagai permasalahan serius. Berikut beberapa di antaranya:
PT Sariwangi Agricultural Estate Agency (SAEA)
Produsen teh celup yang berdiri sejak 1973 ini resmi dinyatakan pailit pada 2018. Masalah utama yang dihadapi adalah utang besar kepada Bank ICBC Indonesia, dengan nilai mencapai lebih dari Rp 300 miliar.
Meskipun merek Sariwangi masih ada karena dibeli Unilever, perusahaan SAEA sebagai produsen utama tidak bisa bertahan.
Nyonya Meneer
Perusahaan jamu legendaris ini mengalami kemunduran akibat konflik internal keluarga, akumulasi utang besar, dan kurangnya inovasi.
Pengadilan Negeri Semarang menyatakan Nyonya Meneer pailit pada 2017 setelah gagal menyelesaikan kewajiban kepada para kreditur.
7-Eleven (Sevel)
Toko serba ada yang sempat populer di kalangan anak muda ini menutup seluruh gerainya pada 2017.
Penyebab utamanya adalah biaya operasional yang terlalu tinggi dan tidak seimbang dengan pendapatan.
Kodak
Merek fotografi yang pernah sangat berjaya ini tak mampu bersaing di era digital.
Keengganan untuk berinovasi menjadi alasan utama runtuhnya bisnis yang sudah berdiri sejak 1892. Kodak resmi pailit pada 2012.
Kebangkrutan umumnya diawali oleh masalah internal, terutama dari sisi pengelolaan.
Manajemen yang tidak efektif dalam menyusun strategi keuangan, produksi, hingga pengelolaan sumber daya sering kali menjadi awal kehancuran.
Selain itu, utang yang menumpuk juga menjadi beban berat bagi banyak perusahaan besar.
Bunga yang tinggi dari pinjaman bisnis dapat menekan margin keuntungan hingga membuat operasional tidak lagi menguntungkan.
Penurunan angka penjualan juga merupakan sinyal bahaya. Ketika permintaan pasar turun drastis akibat persaingan ketat, minimnya promosi, atau produk yang tidak berkembang, maka potensi kerugian semakin besar dan bisa berdampak pada keberlangsungan usaha.
Faktor dari luar perusahaan juga sangat mempengaruhi. Kondisi perekonomian global yang tidak stabil, seperti saat krisis ekonomi atau pandemi, menyebabkan masyarakat menahan konsumsi.
Hal ini menurunkan daya beli dan berdampak langsung pada performa perusahaan. Saat masyarakat lebih memilih menabung dibanding berbelanja, banyak sektor usaha terpukul dan tidak sanggup bertahan.
Nama besar tidak menjamin keberlangsungan bisnis. Baik faktor internal maupun eksternal dapat mengguncang fondasi perusahaan dan menyebabkan kebangkrutan jika tidak diantisipasi dengan baik.