SERAYUNEWS- Setiap awal Mei, Indonesia memperingati dua tonggak penting secara beruntun: Hari Buruh Internasional pada 1 Mei dan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei.
Kedua momen ini sejatinya menjadi ajang refleksi nasional menghargai keringat para pekerja dan meneguhkan komitmen terhadap pendidikan yang inklusif dan bermartabat.
Namun, di tengah gegap gempita perayaan, terdapat kelompok yang seolah dilupakan: anak-anak buruh migran Indonesia di luar negeri.
Dosen Ilmu Politik, FISIP Unsoed Purwokerto, Ahmad Sabiq dalam artikelnya menyebut, bagi ratusan ribu buruh migran Indonesia, terutama yang bekerja di Malaysia, dua hari besar ini kerap kali terasa sebagai ironi, bukan perayaan.
Di balik kerja keras mereka di sektor-sektor vital seperti perkebunan sawit, konstruksi, hingga domestik, tersembunyi kisah getir anak-anak mereka yang hidup dalam bayang-bayang status undocumented.
Anak-anak ini, dikenal sebagai anak tanpa dokumen, tidak memiliki status hukum yang jelas di negara tempat tinggal mereka. Banyak dari mereka lahir dari orang tua yang juga berstatus ilegal di Malaysia tanpa jalur resmi.
Akibatnya, akses terhadap hak-hak dasar seperti pendidikan menjadi mimpi yang nyaris tak tergapai.
Sejak tahun 2002, Pemerintah Malaysia membatasi akses pendidikan formal hanya untuk warga negara Malaysia. Kebijakan ini secara otomatis menutup pintu sekolah negeri bagi ribuan anak buruh migran.
Bukan karena mereka tak ingin belajar, tetapi karena sistem belum sepenuhnya menjamin perlindungan hak asasi mereka sebagai anak-anak manusia.
Sebagaimana dicatat oleh peneliti migrasi Linda Lumayag (2016), anak-anak migran seringkali tak dianggap sebagai subjek utama dalam kebijakan migrasi. Mereka tak tampak dalam statistik, tak terdengar dalam kebijakan, dan tak tersentuh oleh layanan negara.
Sebagai respons terhadap keterbatasan tersebut, Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan berbagai pihak—NGO, komunitas lokal. Bahkan perusahaan mendirikan Community Learning Centres (CLC) dan Sanggar Bimbingan (SB) di kawasan perkebunan Malaysia.
Melalui kurikulum nasional, anak-anak buruh migran tetap mendapat pendidikan meski nonformal. Namun, realitas di lapangan menunjukkan ketimpangan yang masih lebar.
Jumlah CLC yang ada belum mampu menjangkau seluruh anak buruh migran. Sering kali, keterbatasan dana, tenaga pengajar hingga legalitas pendirian pusat belajar menjadi kendala serius.
Dalam perspektif teori kapabilitas Amartya Sen (1993), pendidikan tidak hanya sebatas kemampuan akademik, tetapi merupakan alat pembebas manusia dari ketidakadilan struktural.
Tanpa akses pendidikan, anak-anak ini terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan keterbatasan pilihan hidup.
Peringatan Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional seharusnya bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momen untuk bertanya secara jujur.
Apakah negara benar-benar menghargai buruh migran jika anak-anak mereka tetap termarjinalkan? Apakah sistem pendidikan kita benar-benar inklusif jika hanya berlaku bagi mereka yang “terdata”?
Jika kita mengakui bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak, maka anak-anak buruh migran juga harus mendapat tempat dalam perhatian dan kebijakan nasional.
Mereka bukan hanya statistik, mereka adalah masa depan bangsa yang kini sedang menanti jembatan harapan dibangun untuk mereka.