SERAYUNEWS- Fatwa selalu menjadi perbincangan menarik di tengah masyarakat Muslim Indonesia. Namun, tidak semua fatwa benar-benar kita ikuti dalam kehidupan sehari-hari.
Ada fatwa yang langsung kita praktikkan, tetapi tidak sedikit pula yang hanya menjadi wacana. Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terjadi?
Lembaga seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah kerap mengeluarkan fatwa, namun tingkat pengaruhnya berbeda-beda di masyarakat
Berikut kami sajikan ulasannya menurut Prof. Ansori, Guru Besar UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto yang juga Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Banyumas:
Dia mencontohkan, Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Nahdlatul Ulama (NU) rutin mengeluarkan fatwa yang disusun berdasarkan kajian mendalam. Fatwa ini sering dibahas di kalangan kiai, pengurus organisasi, dan tokoh agama.
Sayangnya, masyarakat awam kerap tidak memahami, bahkan tidak mengetahui isi fatwa tersebut. Akibatnya, fatwa NU sering kurang berdampak luas di tingkat akar rumput.
“Fatwa dari Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU lebih dikenal di kalangan pengurus organisasi dan tokoh agama. Namun, masyarakat awam banyak yang belum paham bahkan tidak tahu soal fatwa ini. Akibatnya, fatwa NU kurang berdampak luas di tingkat akar rumput,” tulis keterangannya.
Berbeda dengan NU, Majelis Tarjih Muhammadiyah relatif lebih berhasil menyebarkan fatwa kepada anggotanya.
Buku-buku keputusan Tarjih menjadi rujukan penting dalam praktik ibadah warga Muhammadiyah. Kendati demikian, tidak semua fatwa dijalankan sepenuhnya.
Contoh paling jelas adalah fatwa haram merokok. Meski sudah ada keputusan resmi, masih banyak warganya yang tetap merokok.
“Fatwa dari Majelis Tarjih Muhammadiyah relatif lebih dikenal oleh anggotanya. Buku-buku keputusan Tarjih sering jadi rujukan dalam beribadah. Tapi tetap saja, tidak semua fatwanya dijalankan sepenuhnya. Contohnya, fatwa haram merokok yang masih dilanggar sebagian anggota,” jelasnya.
Lalu bagaimana dengan fatwa MUI?
Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki posisi strategis karena dianggap mewakili umat sekaligus mitra pemerintah. Secara logis, fatwa MUI seharusnya lebih berpengaruh.
Namun, kenyataannya popularitas fatwa MUI di kalangan umat Islam justru kalah dibanding NU dan Muhammadiyah. Masyarakat lebih sering merujuk pada fatwa kiai atau ustaz setempat yang mereka percaya.
“Sebagai lembaga yang dianggap mewakili pemerintah, MUI seharusnya punya pengaruh besar. Nyatanya, popularitas fatwa MUI justru kalah dibanding NU dan Muhammadiyah di kalangan umat Islam. Masyarakat lebih sering mengikuti fatwa dari kiai atau ustadz setempat,” bebernya.
Ada beberapa alasan mengapa fatwa tidak selalu dijalankan masyarakat:
1. Sifat Tidak Mengikat
Fatwa berbeda dengan putusan pengadilan. Fatwa bersifat anjuran moral-spiritual, bukan aturan hukum yang wajib dipatuhi. Masyarakat bebas memilih mengikuti atau mengabaikannya.
2. Perbedaan Fatwa Antar Lembaga
Perbedaan pendapat antar lembaga kerap membingungkan masyarakat. Misalnya, dalam penentuan awal Ramadan, ada yang menggunakan metode hisab, sementara yang lain mengandalkan rukyat.
Perbedaan ini membuat umat lebih memilih mengikuti otoritas lokal atau keyakinan pribadi.
3. Kurangnya Sosialisasi
Banyak fatwa tidak diketahui masyarakat luas karena minimnya sosialisasi. Fatwa sering hanya beredar di kalangan terbatas, seperti pengurus organisasi atau tokoh agama, tanpa menjangkau masyarakat umum.
Pada dasarnya, fatwa lahir untuk memberikan panduan dan solusi bagi umat. Fatwa tentang larangan merokok, misalnya, bisa melindungi generasi muda dari dampak buruk kesehatan.
Begitu pula fatwa saat pandemi COVID-19, yang membantu umat beribadah dengan aman. Namun, tanpa sosialisasi yang tepat, fatwa hanya berhenti sebagai wacana, bukan aksi nyata.
Agar fatwa benar-benar berfungsi sebagai panduan umat, ada dua langkah penting yang perlu ditempuh:
1. Sosialisasi Lebih Luas
Lembaga fatwa perlu memanfaatkan media populer, seperti media sosial, podcast, dan ceramah publik, agar pesan fatwa menjangkau generasi muda dan masyarakat awam.
2. Sinergi Antar Lembaga Fatwa
NU, Muhammadiyah, dan MUI perlu saling menghargai perbedaan. Penjelasan argumen dari masing-masing fatwa penting untuk meminimalisir kebingungan di masyarakat.
Dengan begitu, umat tidak terjebak pada kebingungan, melainkan mendapat pencerahan.
Fatwa memiliki peran besar dalam membimbing umat Islam. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada sosialisasi, penerimaan masyarakat, dan kerja sama antar lembaga.
Dengan langkah yang tepat, fatwa tidak hanya menjadi bahan diskusi di kalangan terbatas, tetapi juga mampu mengarahkan umat dalam menghadapi persoalan sehari-hari.