SERAYUNEWS – Presiden Prabowo Subianto resmi menandatangani Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada 24 Februari 2025.
Undang-undang ini disahkan dengan persetujuan DPR RI dan membawa sejumlah perubahan besar, salah satunya menyangkut status hukum direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN.
Satu poin yang menyita perhatian publik adalah bahwa pejabat-pejabat penting di tubuh BUMN kini tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara.
Apa makna di balik ketentuan ini? Dan bagaimana pengaruhnya terhadap kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?
UU BUMN terbaru menegaskan bahwa anggota direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan penyelenggara negara. Ketentuan tersebut tercantum secara eksplisit di beberapa pasal penting:
Dengan penghapusan status penyelenggara negara ini, muncul pertanyaan besar: apakah KPK masih bisa memproses kasus korupsi yang melibatkan pejabat BUMN?
Selama ini, KPK bertugas memberantas korupsi berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2019. Dalam Pasal 11 Ayat (1), KPK memiliki wewenang menangani perkara yang melibatkan:
Dengan dihapusnya status “penyelenggara negara” dari direksi dan komisaris BUMN, maka secara normatif, mereka tidak lagi menjadi subjek hukum utama yang bisa langsung dijerat oleh KPK.
Hal tersebut setidaknya berdasarkan huruf a Pasal 11. Namun, apakah ini berarti para pejabat BUMN kebal dari jerat hukum?
Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menyebut bahwa meskipun status hukum telah berubah, para pejabat BUMN tetap dapat dijerat UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bila perbuatannya terbukti melanggar hukum.
“Kalau perbuatannya terindikasi sebagai koruptor, tentu dapat diproses menurut UU Tipikor,” tegas Tanak, Selasa (6/5/2025).
Namun, ia menegaskan bahwa itu merupakan pendapat pribadi, bukan sikap resmi KPK sebagai institusi. Selain itu, KPK tetap mendorong penguatan pencegahan di sektor korporasi negara.
Bahkan, KPK menyatakan dukungannya terhadap wacana penambahan Deputi Pencegahan Korupsi di Kementerian BUMN, seperti disampaikan oleh Menteri BUMN Erick Thohir.
Deputi ini akan diisi oleh aparat penegak hukum dari KPK atau Kejaksaan Agung, guna memastikan bahwa BUMN tetap bersih dan transparan.
Menurut peraturan perundang-undangan, “penyelenggara negara” mencakup pejabat tinggi negara seperti Presiden, Menteri, DPR, dan aparat penegak hukum.
Status ini penting karena menyangkut akuntabilitas dan pengawasan publik, terutama oleh lembaga seperti KPK. Dengan mencabut status ini dari pejabat BUMN, maka peran pengawasan eksternal menjadi terbatas.
Hal ini dikhawatirkan bisa membuka celah praktik korupsi yang sulit disentuh hukum, kecuali dengan pendekatan berbasis kerugian negara.
UU BUMN 2025 terdiri dari 153 halaman dan mencakup berbagai aspek baru tentang tata kelola perusahaan milik negara. Beberapa bab penting di dalamnya antara lain:
Bab IA – Asas dan Tujuan
Bab IB – Kewenangan atas Pengelolaan BUMN
Bab IG – Pendirian BUMN
Bab IIIA – Pengelolaan Aset BUMN
Bab IX – Sumber Daya Manusia
Bab IXB – Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Regulasi ini tidak hanya mengatur struktur dan operasional BUMN, tetapi juga menegaskan arah baru pengelolaan BUMN sebagai entitas bisnis dengan orientasi profesional dan efisien.
Salah satu filosofi yang mendasari perubahan ini adalah keinginan pemerintah menjadikan BUMN murni sebagai entitas bisnis, bukan sebagai bagian dari struktur negara.
Dengan demikian, logika pengelolaan, pengawasan, hingga penggajian diorientasikan ke mekanisme korporasi, bukan birokrasi.
Namun demikian, status ini perlu dikawal agar BUMN tetap memenuhi prinsip good corporate governance dan bebas dari intervensi kekuasaan yang tidak sah.***