SERAYUNEWS – Pada Juli 2025, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring secara resmi menambahkan kata “palum” sebagai padanan baku untuk lawan kata “haus”.
Penambahan ini menjawab kekosongan kosakata yang selama ini belum memiliki bentuk tunggal dan efisien dalam bahasa Indonesia.
Jika sebelumnya masyarakat hanya mengandalkan frasa seperti “tidak haus” atau “sudah minum”, kini tersedia satu kata yang mewakili kondisi setelah minum, yaitu palum.
Penambahan ini merupakan bagian dari upaya yang dilakukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa untuk terus memperkaya bahasa nasional dengan menyerap istilah dari bahasa daerah.
Palum sendiri berasal dari bahasa Batak Pakpak, salah satu rumpun bahasa daerah yang dituturkan masyarakat di wilayah Sumatera Utara. Dalam Kamus Pakpak–Indonesia karya Tindi Radja Manik (2002), kata palum diartikan sebagai kondisi “sembuh” atau “hilang dahaga”.
Usulan agar kata ini masuk ke dalam KBBI sudah bergulir sejak tahun 2024. Langkah ini merupakan bagian dari gerakan untuk mengakui dan mengadopsi kekayaan bahasa lokal sebagai bagian tak terpisahkan dari bahasa Indonesia.
Dengan menyerap kata-kata seperti palum, KBBI tidak hanya berfungsi sebagai kamus standar, tapi juga sebagai representasi akulturasi budaya dan bahasa dari berbagai penjuru Nusantara.
Menurut KBBI edisi daring terbaru, palum adalah kata benda yang berarti “sudah puas minum” atau “hilang rasa haus”. Dengan kata ini, bahasa Indonesia kini memiliki pasangan yang lebih seimbang dengan “kenyang” sebagai lawan dari “lapar”.
Contoh penggunaan kata ini dalam kalimat adalah: “Setelah meneguk air kelapa, ia merasa palum,” atau “Anak-anak yang tadinya rewel akhirnya tenang karena sudah palum.”
Kendati telah diresmikan dan dicantumkan dalam KBBI, penggunaan kata palum dalam percakapan sehari-hari masih relatif asing di telinga sebagian besar masyarakat.
Hal ini tidak mengherankan, mengingat dominasi bentuk frasa seperti “tidak haus” sudah lebih dulu mengakar.
Oleh karena itu, sosialisasi dan edukasi menjadi kunci agar kata palum lebih dikenal dan digunakan secara luas, baik di lingkungan sekolah, media, maupun percakapan umum.
Kehadiran kata ini membuka ruang baru dalam perkembangan bahasa Indonesia modern yang tidak hanya berkembang dari penciptaan istilah baru, tetapi juga dari pelestarian dan pengangkatan bahasa daerah. Dengan begitu, setiap kata yang lahir atau diserap bukan hanya memperkaya kosakata, tetapi juga memperkuat identitas kolektif bangsa.
Dalam konteks yang lebih luas, langkah ini juga bisa menjadi pengingat bahwa bahasa Indonesia bersifat dinamis dan inklusif.
Bukan hanya menyerap dari bahasa asing, tetapi juga menggali khazanah lokal sebagai sumber inovasi linguistik.
Harapannya, kata palum bisa menjadi pintu masuk untuk lebih banyak kata dari bahasa daerah lain yang memiliki potensi untuk diadopsi secara nasional.
Dengan penambahan ini, kini masyarakat Indonesia memiliki satu kata yang lebih ringkas, efisien, dan bermakna untuk menjawab pertanyaan “Apa lawan kata haus?” Jawabannya: Palum.***