SERAYUNEWS- Kekerasan seksual masih menjadi isu serius di Indonesia, namun upaya kampanye pencegahannya belum mendapatkan perhatian publik yang signifikan, terutama di media sosial.
Rendahnya respons netizen terhadap konten antikekerasan seksual yang Satgas PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) publikasikan, menjadi refleksi dari kurang efektifnya pendekatan komunikasi yang kita gunakan.
Melihat kondisi ini, Tim Dosen dari Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unsoed, yang Prof. Mite Setiansah pimpin, menggagas penelitian dengan pendekatan berbeda. Mereka memilih menggunakan neurosains (neuroscience) sebagai alat untuk mengevaluasi efektivitas pesan-pesan kampanye antikekerasan seksual.
Dalam penjelasannya, Prof. Mite mengungkapkan pendekatan neuroscience mampu menggali reaksi bawah sadar manusia terhadap sebuah pesan komunikasi.
Dengan mengamati aktivitas otak secara langsung, tim dapat mengukur seberapa efektif sebuah gambar atau narasi dalam membangkitkan empati dan kesadaran publik.
“Pendekatan neuroscience membantu kita mengetahui respons otak terhadap konten kampanye. Kami ingin tahu apakah pesan yang selama ini disampaikan benar-benar menggerakkan audiens atau hanya lewat begitu saja,” ungkap Prof. Mite.
Karena pendekatan ini bersifat interdisipliner, Prof. Mite dan tim melibatkan disiplin ilmu psikologi. Untuk itu, mereka menjalin kerja sama riset dengan Departemen Psikologi National Cheng Kung University (NCKU), Taiwan salah satu universitas ternama di Asia.
Penelitian mereka lakukan di Mind Research & Imaging Center (MRIC) milik NCKU. Di laboratorium tersebut, eksperimen dilakukan untuk melihat reaksi otak peserta uji terhadap berbagai bentuk konten kampanye antikekerasan seksual, baik berupa gambar, teks, maupun video.
“Kami berangkat ke Taiwan tanggal 19 Juli 2025 dan akan berada di sana selama sekitar satu minggu untuk proses penggalian data,” jelas Prof. Mite.
Selain Prof. Mite, tim peneliti yang berangkat ke Taiwan meliputi Dr. Edi Santoso dan Dr. Nuryanti, yang juga merupakan dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unsoed.
Penelitian ini mendapat biaya penuh dari Unsoed melalui program International Research Collaboration, yang mereka rancang untuk mendukung riset global dengan dampak nyata terhadap isu-isu sosial.
“Penelitian ini bukan sekadar kegiatan ilmiah, tetapi juga bentuk kontribusi nyata Unsoed untuk memerangi kekerasan seksual melalui pendekatan yang lebih ilmiah dan humanis,” terang Prof. Mite.
Riset ini berangkat dari kenyataan bahwa banyak kampanye sosial di media digital gagal menciptakan dampak yang kita harapkan.
Faktor penyebabnya bisa berasal dari konten yang tidak menyentuh emosi audiens, tidak relevan secara visual, atau bahkan tidak ditangkap oleh otak sebagai hal penting.
Dengan memanfaatkan neuroscience, tim berharap bisa merumuskan strategi kampanye yang lebih efektif dan berbasis pada bukti ilmiah, bukan hanya berdasarkan intuisi atau tren.
“Kami ingin menciptakan model komunikasi yang dapat digunakan oleh lembaga, universitas, hingga komunitas untuk mengembangkan kampanye antikekerasan seksual yang benar-benar menyentuh kesadaran masyarakat,” ujar Dr. Edi Santoso, anggota tim.
Hasil riset ini harapannya tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan kampus, tetapi juga menjadi referensi nasional dalam menyusun kebijakan komunikasi publik terkait kekerasan seksual.
Jika terbukti berhasil, pendekatan neuroscience ini bisa digunakan secara luas untuk menyusun berbagai kampanye sosial lainnya, seperti anti perundungan, literasi digital, atau isu kesehatan mental.
Selain itu, kolaborasi dengan NCKU membuka peluang kerja sama akademik lainnya, seperti pertukaran pelajar, joint publication, dan kolaborasi penelitian lanjutan di bidang komunikasi dan psikologi.
Langkah inovatif yang dosen Unsoed lakukan ini menjadi contoh nyata bagaimana dunia akademik dapat memberikan solusi konkret terhadap persoalan sosial.
Dengan menggabungkan teknologi neuroscience dan kolaborasi internasional, penelitian ini diharapkan mampu membawa perubahan dalam cara kita menyampaikan pesan-pesan penting kepada masyarakat.
Di tengah tantangan komunikasi publik yang semakin kompleks, pendekatan ilmiah berbasis data seperti ini layak mendapat dukungan luas. Apalagi ketika tujuannya adalah membentuk masyarakat yang lebih sadar, peduli, dan bebas dari kekerasan seksual.