SERAYUNEWS- Polemik pernikahan beda agama kembali memicu kontroversi setelah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan Anthony (Kristen) dan Wulandari (Muslim).
Keputusan ini memantik perdebatan sengit antara pendukung hak asasi manusia dan pihak yang teguh pada aturan agama.
Guru Besar Fiqh Siyasah Fakultas Syariah UIN Saizu Purwokerto, Prof. Bani Sarif Maula, bersama Ilyya Muhsin (Maula dan Muhsin) dalam penelitian mereka menyebutkan bahwa putusan tersebut memperlihatkan ketegangan antara prinsip hukum dan tuntutan sosial.
Mahkamah Agung kemudian merespons dengan menerbitkan surat edaran yang melarang pengadilan mengabulkan permohonan serupa, menegaskan kembali posisi negara dalam isu ini.
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi dasar hukum yang sering diperdebatkan karena mensyaratkan kesamaan agama bagi keabsahan pernikahan.
Menurut Maula dan Muhsin, aturan ini menimbulkan dilema bagi pasangan beda agama. Banyak yang mencari solusi alternatif, seperti menikah di luar negeri atau mengajukan permohonan ke pengadilan, seperti dalam kasus Andi Vony vs. Negara pada 1986.
Penelitian itu juga mengungkap bahwa Mahkamah Agung pernah memberikan peluang melalui putusan No. 1400K/Pdt/1986, namun tren belakangan menunjukkan banyak pengadilan menolak permohonan serupa.
Inkonsistensi ini menggambarkan tarik-menarik antara nilai-nilai modern dan konservatisme hukum di Indonesia.
Masyarakat pun terbelah dalam menyikapi isu ini. Generasi muda yang lebih terbuka dengan pengaruh global cenderung menerima pernikahan beda agama, sementara kelompok konservatif tetap memegang teguh larangan berdasarkan interpretasi ajaran agama.
Tak jarang, pasangan beda agama harus menghadapi tekanan sosial yang berat, mulai dari penolakan keluarga hingga intimidasi dari kelompok radikal.
Dampak paling nyata dari polemik ini dirasakan oleh anak-anak hasil pernikahan beda agama.
Berdasarkan penelitian Maula dan Muhsin, banyak dari mereka kesulitan mendapatkan akta kelahiran karena status hukum orang tua yang belum diakui secara jelas.
Hal ini berpotensi menghambat akses mereka terhadap hak dasar seperti pendidikan dan layanan kesehatan.
Upaya merevisi UU Perkawinan untuk mengakomodasi realitas sosial menghadapi tantangan besar. Maula dan Muhsin mencatat bahwa resistensi kuat dari kelompok agama menjadi penghalang utama.
Di sisi lain, mempertahankan aturan yang ada juga berarti mengabaikan dinamika sosial dan hak-hak warga negara.
Menurut Maula dan Muhsin, pernikahan beda agama mencerminkan keragaman yang menjadi ciri khas Indonesia.
Namun hingga kini, negara masih kesulitan menemukan formula hukum yang mampu menyeimbangkan kebebasan individu dengan harmoni sosial. Tantangan terbesar adalah menciptakan regulasi yang adil tanpa mengorbankan prinsip negara hukum.
Dua putusan Mahkamah Konstitusi—No. 68/PUU-XII/2014 dan No. 24/PUU-XX/2022—semakin mempertegas bahwa keabsahan pernikahan berada dalam ranah agama.
Maula dan Muhsin mengkritik bahwa pendekatan ini memperlihatkan Indonesia sebagai negara yang masih mengedepankan “enklave yurisdiksi agama” dalam urusan-urusan tertentu.
Ke depan, polemik pernikahan beda agama diperkirakan akan terus berlanjut. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa selama masih ada kesenjangan antara hukum positif dan realitas sosial, pasangan beda agama akan terus mencari cara untuk melegalkan hubungan mereka.
Pertanyaannya kini adalah: mampukah negara menghadirkan kebijakan yang lebih inklusif tanpa mengorbankan stabilitas sosial?