SERAYUNEWS- Pemikir Islam liberal semakin gencar mendorong kebebasan berpikir dalam penafsiran hukum Islam.
Mereka menawarkan pendekatan baru yang mengedepankan kemaslahatan publik daripada mengikuti teks agama secara tekstual.
Gagasan ini memicu perdebatan sengit di kalangan akademisi, ulama, dan umat Islam pada umumnya.
Peneliti dari Fakultas Syariah UIN Saizu Purwokerto, Dr. Agus Sunaryo menyebutkan, para tokoh liberal berusaha menyesuaikan hukum Islam dengan perkembangan zaman.
Mereka menyebut hukum Islam sebagai produk sejarah yang harus terus berkembang.
Misalnya, mereka menilai ketentuan waris yang memberi porsi lebih besar kepada laki-laki sudah tidak sesuai dengan semangat kesetaraan gender di era modern.
Namun, hasil penelitian Dr. Agus Sunaryo bersama Ahmad Hadidul Fahmi yang juga Peneliti UIN Saizu Purwokerto, menilai bahwa pendekatan ini justru mengabaikan teks-teks agama yang bersifat spesifik.
Banyak pemikir liberal cenderung mengesampingkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis demi menyesuaikan hukum dengan kepentingan subjektif. Mereka sering menggunakan dalih maslahah tanpa memperhatikan batasan syariat.
Kelompok liberal juga mempersoalkan kewajiban hijab. Mereka mengklaim bahwa hijab tidak harus mengikuti standar Arab, tetapi cukup menyesuaikan budaya lokal.
Padahal, ulama tradisional sudah menjelaskan bahwa hijab memiliki dasar hukum yang jelas dalam Al-Qur’an dan hadis.
Mereka tetap mewajibkan hijab sesuai dengan batas aurat yang ditentukan syariat, bukan berdasarkan selera budaya.
Isu pernikahan beda agama turut memperbesar jurang pemisah antara pemikiran liberal dan tradisional. Tokoh-tokoh liberal mendukung pernikahan lintas agama dengan alasan toleransi.
Sementara itu, ulama klasik secara konsisten menolak praktik tersebut karena bertentangan dengan dalil-dalil agama yang eksplisit. Perbedaan pandangan ini memicu kontroversi di ruang publik, khususnya media sosial.
Pihaknya menilai pendekatan liberal dalam hukum Islam sangat berisiko.
Jika umat Islam membolehkan siapa saja menafsirkan hukum hanya berdasarkan kepentingan atau opini pribadi, maka umat akan kehilangan pijakan.
Hukum Islam tidak akan lagi memiliki standar baku. Ini seperti membangun rumah tanpa fondasi.
Banyak santri dan mahasiswa di Purwokerto yang menjadi salah satu pusat kajian Islam tradisional menolak gagasan Islam liberal.
Mereka memilih mengikuti metode para ulama klasik seperti Imam Syafi’i dan Imam Al-Ghazali yang memosisikan teks agama sebagai sumber utama hukum.
Meski mendapat banyak kritik, kalangan liberal terus menyuarakan perlunya pembaruan hukum Islam. Mereka berpendapat bahwa Islam harus menjawab tantangan dunia modern.
Mereka sering mencontohkan hukum potong tangan bagi pencuri yang menurut mereka tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai hak asasi manusia.
Bagi mereka, syariat harus berkembang bersama perubahan zaman. Mereka menganggap kemaslahatan sebagai tujuan utama, walau harus menafsirkan ulang teks-teks keagamaan.
Sebagian masyarakat Indonesia masih merasa bingung. Mereka ingin memegang ajaran Islam secara utuh, tetapi juga ingin hidup harmonis di tengah masyarakat yang plural dan demokratis.
Kebingungan ini memperkuat polarisasi antara pemikiran tradisional dan liberal. Pihaknya mengajak umat Islam untuk bersikap bijak dan kritis dalam menghadapi perbedaan pandangan.
Perbedaan adalah bagian dari dinamika berpikir dalam Islam, tetapi jangan sampai menyingkirkan prinsip-prinsip utama agama.
Perdebatan antara Islam liberal dan Islam tradisional belum akan selesai dalam waktu dekat. Namun, umat Islam tetap bisa menjaga harmoni dengan cara berdialog, saling menghormati, dan tidak memaksakan pendapat.
Yang terpenting, kita harus berusaha mewujudkan kemaslahatan bersama tanpa mengorbankan pondasi ajaran Islam yang telah mapan.
Dengan tetap berpegang pada teks dan prinsip, kita bisa membawa Islam menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan arah.