SERAYUNEWS- Setiap hari, warga di 13 desa pesisir Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, harus menghadapi air laut yang kian tak kenal waktu.
Rob yang sejak 2018 menjadi langganan tahunan, kini menjelma menjadi bagian dari kehidupan harian.
Ketinggian air pasang yang mencapai 30 hingga 50 sentimeter tak hanya membanjiri halaman, tetapi juga mengikis asa.
Dalam keterangan yang serayunews.com terima, Gunaryo, warga setempat mengaku dahulu Pantai Blendung sangat indah. “Saat saya SD, hamparannya luas dan bersih. Sekarang? Sudah rusak,” kenangnya dengan sorot mata penuh nostalgia.
Di tengah keterdesakan itu, muncul wacana “bedol desa” sebuah keputusan kolektif untuk pindah ke wilayah yang lebih aman dari terjangan rob.
“Bukan karena ingin pindah. Kami terpaksa meninggalkan kampung karena air tak pernah surut,” ujar Desi, seorang ibu rumah tangga di Blendung.
Rob bukan lagi musuh musiman, tetapi ritme baru yang memaksa adaptasi terus-menerus. Kondisi geografis Blendung yang terletak di dataran rendah membuatnya sangat rentan terhadap naiknya permukaan laut.
Sementara itu, di sebelah barat, Kabupaten Brebes menghadapi tantangan berbeda berupa tanah gerak. Seolah alam di Jawa Tengah sedang menguji daya tahan warganya dari berbagai arah.
“Bumi Jawa ini sedang berbicara kepada kita,” ujar Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, Dosen Ekonomi Lingkungan UIN Saizu Purwokerto, dalam keterangan tertulisnya, dikutip Rabu, 11 Juni 2025.
“Ketidakseimbangan perlakuan manusia terhadap bumi memicu perubahan alam yang drastis.”
Dr. Ash-Shiddiqy mengidentifikasi lima faktor utama penyebab banjir rob yang melanda Blendung dan sekitarnya:
Kombinasi faktor tersebut membentuk siklus bencana kronis yang tidak bisa diselesaikan dengan solusi jangka pendek semata.
Sejumlah solusi telah diusulkan, baik oleh warga maupun pegiat lingkungan. Di antaranya:
Namun upaya-upaya ini membutuhkan campur tangan serius dari pemerintah pusat dan provinsi.
“Pemalang tak mungkin menanggulangi ini sendirian,” tegas salah satu tokoh masyarakat.
Bagi masyarakat pesisir, hijrah atau perpindahan bukan sekadar lari dari masalah, tapi bagian dari strategi bertahan hidup.
“Mempertahankan tanah kelahiran adalah bentuk cinta, tapi kadang cinta menuntut pengorbanan,” tambah Dr. Ash-Shiddiqy.
Dalam konteks spiritual, hijrah mengandung makna luhur. Seperti perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah, hijrah adalah langkah berani demi masa depan yang lebih baik.
Fenomena rob di Blendung juga mencerminkan dinamika antropoekologi studi tentang interaksi antara manusia dan lingkungannya.
Fenomena ini menunjukkan:
1. Ketimpangan adaptasi iklim, di mana masyarakat miskin pesisir paling rentan.
2. Pembangunan yang abai lingkungan, tanpa keseimbangan antara ekonomi dan ekologi.
3. Keadilan ekologis yang timpang; daerah penyumbang emisi rendah justru terdampak paling parah.
Rob seharusnya masuk dalam agenda ekonomi hijau nasional, dengan prioritas pada kawasan rawan bencana sebagai titik fokus rehabilitasi ekologis dan relokasi manusiawi.
Blendung telah memberi kita pelajaran penting: bahwa kehidupan bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang membaca isyarat alam dan bertindak bijak sebelum terlambat.
Pemerintah, akademisi, dan masyarakat perlu bersinergi, tidak hanya membangun tanggul atau pagar laut, tetapi juga membangun harapan. Ketahanan sosial, spiritual, dan ekologis harus dibentuk bersama-sama.
Blendung mungkin sedang tenggelam, tapi harapan mereka jangan sampai ikut karam.