SERAYUNEWS – Kabar duka datang dari dunia sastra karena Mario Vargas Llosa, sosok ikonik dalam jagat literasi Amerika Latin dan pemenang Nobel Sastra tahun 2010, dikabarkan meninggal dunia pada usia 89 tahun.
Ia meninggal pada Minggu, 13 April 2025 waktu setempat.
Kepergiannya menyisakan ruang hampa bagi para pecinta sastra di seluruh penjuru dunia.
Penulis kelahiran Arequipa, Peru, ini dikenal sebagai sosok yang produktif serta berpengaruh
Beberapa karyanya yang monumental seperti The Time of the Hero (La Ciudad y los Perros) dan Feast of the Goat telah menjadikannya sebagai figur penting dalam peta sastra dunia.
Komite Nobel bahkan pernah menyampaikan bahwa penghargaan kepada Vargas Llosa diberikan karena “pemetaan terhadap struktur kekuasaan serta gambaran tajam tentang perlawanan, pemberontakan, dan kekalahan individu.”
Kabar duka ini diumumkan langsung oleh keluarganya melalui surat yang ditandatangani oleh ketiga anaknya: Álvaro, Gonzalo, dan Morgana dan kemudian diposting di platform X (dulu Twitter)
Meski penyebab kematian belum secara resmi diumumkan oleh pihak keluarga, diketahui bahwa pada tahun 2018 Vargas Llosa sempat mengalami insiden yang berdampak pada kesehatannya.
Namun hingga kini, tidak ada keterangan spesifik mengenai apakah insiden tersebut berkaitan langsung dengan kematiannya.
Sahabat dekat sekaligus pengacara pribadinya, Enrique Ghersi, turut membenarkan kabar meninggalnya Vargas Llosa kepada kantor berita Associated Press.
Ia mengenang momen terakhir bersama sang penulis saat ulang tahunnya yang ke-89, pada 28 Maret lalu.
Kini, ucapan duka juga mengalir deras dari berbagai penjuru dunia.
Di Spanyol—negara tempat Vargas Llosa menghabiskan banyak waktu dalam hidupnya—Raja Felipe VI dan Ratu Letizia turut menyampaikan belasungkawa.
Mario Vargas Llosa lahir pada 28 Maret 1936 di Arequipa, Peru, dari pasangan Ernesto Vargas Maldonado dan Dora Llosa Ureta.
Ia berasal dari keluarga kelas menengah dan dibesarkan tanpa kehadiran sosok ayah, karena orang tuanya berpisah sebelum ia dilahirkan.
Bahkan hingga usia sepuluh tahun, Vargas Llosa percaya bahwa ayahnya telah meninggal dunia.
Baru pada tahun 1947, ia bertemu dengan ayah kandungnya untuk pertama kali di kota Piura.
Masa kecilnya dihabiskan sebagian di Cochabamba, Bolivia, di mana kakek dari pihak ibu mengelola perkebunan kapas.
Di sana, Vargas Llosa belajar membaca, menulis, dan menyelesaikan pendidikan hingga kelas empat di Sekolah La Salle.
Setelah kembali ke Peru, ia melanjutkan sekolah di Piura dan kemudian pindah ke Lima.
Hubungan antara Vargas Llosa dan ayahnya tidak pernah harmonis.
Dalam berbagai wawancara, ia mengakui bahwa ayahnya kerap menunjukkan kekerasan dan tidak menyukai ketertarikannya pada dunia tulis-menulis.
Namun dari pengalaman dan tekanan itu, Vargas Llosa justru menjadikan sastra sebagai pelarian sekaligus senjata kritik sosial yang tajam.
Ia tidak hanya dikenal sebagai novelis, tetapi juga esais yang menyentuh banyak isu kekuasaan, ideologi, dan kondisi manusia.
Kini, sang legenda telah tiada. Namun karya-karyanya akan tetap abadi dan menjadi inspirasi bagi generasi masa kini dan yang akan datang.***