SERAYUNEWS- Setiap tanggal 1 Mei, dunia seolah bersatu dalam satu suara, memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day.
Di berbagai penjuru, buruh turun ke jalan, menyuarakan tuntutan akan hak, keadilan, dan perlindungan. Namun di Indonesia, peringatan ini justru sering menguak luka lama.
PHK massal, sistem outsourcing yang tak manusiawi, dan upah yang nyaris tak cukup untuk bertahan hidup.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy menyebutkan, Islam memandang relasi buruh dan majikan tidak sekadar hubungan kerja biasa, tetapi sebagai amanah moral dan sosial.
Ia menegaskan, nilai-nilai Islam melalui Alquran hadir sebagai kritik atas ketimpangan dan eksploitasi yang masih merajalela.
Dalam pandangan Alquran, istilah seperti ajr (upah), mizan (keadilan timbangan), dan hisab (pertanggungjawaban) bukan sekadar kata, tetapi fondasi etika kerja yang adil.
QS. Al-Muthaffifin bahkan mengutuk mereka yang berlaku curang dalam menakar, simbol dari segala bentuk ketidakadilan ekonomi.
“Konsep keadilan sosial dalam Islam sangat progresif. Bahkan dalam QS. An-Nisa:75, umat Islam diperintahkan untuk membela kaum yang tertindas secara struktural (mustad’afin) dari para penindas (mustakbirin),” papar Dr. Ash-Shiddiqy dalam artikelnya, Kamis (1/5/2025).
Dia menambahkan bahwa QS. Al-Qashash ayat 26 menjadi salah satu ayat kunci yang menunjukkan bahwa sistem kerja harus adil, transparan, dan menguntungkan kedua belah pihak.
“Nabi Musa bekerja untuk seorang majikan, dan kesepakatan kerja ditentukan secara terbuka. Ini bukti bahwa Alquran sangat pro pekerja,” tegasnya.
Dalam Islam, buruh tidak boleh dapat perlakuan sebagai alat produksi belaka. Setidaknya terdapat empat hak dasar yang dijamin wahyu:
Nabi Muhammad SAW bahkan bersabda, “Buruh adalah saudaramu… Jangan membebaninya di luar kemampuannya, dan jika kamu membebaninya, bantulah dia.” (HR. Bukhari)
Sayangnya, nilai-nilai luhur ini masih jauh dari realitas dunia kerja modern. Upah minimum sering tak mencukupi biaya hidup, sementara para petinggi perusahaan bisa mendapat bonus fantastis.
“QS. Al-Hasyr:7 menolak kekayaan hanya berputar di kalangan elit. Tapi realita berkata sebaliknya,” kata Dr. Ash-Shiddiqy prihatin.
Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy juga menyoroti praktik outsourcing dan mudahnya PHK. “Sistem kerja hari ini menciptakan ketidakpastian struktural bagi buruh. Ini tidak hanya melukai martabat, tapi juga menyalahi prinsip maslahah dalam syariat,” ujarnya.
Monas, Buruh, dan Aspirasi yang Terbengkalai
Tahun ini, ribuan buruh kembali memenuhi kawasan Monas, menuntut penghapusan outsourcing, pembentukan Satgas PHK, pengesahan RUU PPRT, serta jaminan transisi ke ekonomi hijau yang adil.
Namun di sisi lain, acara-acara seremonial seperti lomba mancing dan joget bersama juga menghiasi May Day.
“May Day bukan hari rekreasi, ini hari perjuangan,” ujar salah satu buruh yang ikut aksi. Sebuah ironi ketika agenda formal justru menjauhkan buruh dari substansi perjuangan mereka.
Rasulullah SAW telah memberikan contoh konkrit bagaimana memperlakukan buruh secara adil: tidak menunda upah, tidak memaksa, dan menganggap mereka sebagai saudara.
Jika prinsip ini diterapkan, tak ada lagi buruh yang dihina oleh sistem. “Islam bukan hanya menawarkan spiritualitas, tapi juga solusi struktural atas persoalan ketenagakerjaan,” tegas Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy.
Ia menambahkan, reformasi ketenagakerjaan harus dimulai dari keadilan—bukan hanya regulasi, tetapi juga nurani.
Hari Buruh Internasional bukan sekadar seremoni. Ia adalah seruan bagi bangsa ini untuk berpihak pada buruh, bukan pada segelintir elite ekonomi. Islam telah memberi jalan. Tinggal kita: mau mengikuti atau mengabaikannya.
“Selamat Hari Buruh. Semoga keadilan sosial tidak hanya menjadi slogan, tapi nyata dalam kebijakan dan kehidupan,” harapnya.