
SERAYUNEWS – Slamet Riyadi tidak menyangka, niatnya untuk menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Banyumas di tahun 2022, justru menjadi kejutan yang tidak menyenangkan.
Kali pertama mendaftar, alih-alih melangkah ke tahap seleksi, warga Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas yang akrab disapa Mame itu, malah mendapati Nomor Induk Kependudukan (NIK) miliknya justru dicatut oleh Partai Nasdem.
“Nah, ketika dicek oleh petugas pada saat itu, NIK saya ternyata terdaftar sebagai anggota partai politik dari Partai Nasdem,” kata Mame, saat dihubungi pada Senin, 17 November 2025.
Padahal, seingat Mame, ia sama sekali tidak pernah menyerahkan fotokopi KTP, mengisi formulir keanggotaan atau menghadiri aktivitas partai manapun.
“Saya tidak pernah mendaftar partai, saya tidak pernah aktif di dalam partai manapun, tapi kemudian kenapa kok NIK saya tercatut dalam salah satu partai politik?” katanya.
Akibat dari kejadian itu, Mame harus melakukan aduan dan menyiapkan sejumlah berkas untuk membersihkan namanya. Hingga akhirnya, ia tetap diperbolehkan mendaftar dan dinyatakan lolos menjadi Panwaslu Kabupaten Banyumas.
“Nah, selang beberapa bulan, saya cek secara berkala di situs Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) KPU. Mungkin dua bulan setelah itu, NIK saya baru terhapus,” tambah Mame.
Selain Mame, Didik Hendro Purnomo, seorang advokat di Banyumas bercerita, ia turut mengalami kejadian yang serupa.
Didik yang saat itu juga mendaftar sebagai Panwaslu Kabupaten Banyumas, mengaku kaget ketika NIK miliknya diketahui terdaftar sebagai anggota Partai Golkar di Sipol KPU.
Awalnya, Didik tidak mengetahui NIK miliknya dicatut oleh Partai Golkar, hingga Bawaslu Kabupaten Banyumas mengundangnya untuk melakukan klarifikasi.
Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Bawaslu mengungkap, NIK milik Didik tercatat sebagai anggota partai tapi dengan nama dan alamat yang berbeda.
“NIK-nya persis sama dengan punya saya, cuma nama sama alamatnya itu milik orang lain,” ujarnya. Didik menduga, pemicu NIK-nya dicatut masih terkait kebocoran data yang sedang marak terjadi waktu itu.
“Kemungkinan itu terkait dengan kebocoran data yang pada saat itu sedang marak. Saya lalu minta ke KPU supaya NIK saya (di Sipol) itu dihapus. Karena itu kan mengganggu proses rekrutmen (Panwaslu) saya,” kata Didik, ditemui pada Selasa, 18 November 2025 di Perpusda Banyumas.
Tak jauh berbeda, Gema Etika Muhammad, warga Desa Desa Ledug, Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas, juga sempat dikagetkan saat rumahnya tiba-tiba didatangi petugas KPU saat ia tidak sedang berada di rumah.

Saat itu, petugas datang bertemu dengan orang tua Gema, mereka ingin memverifikasi statusnya yang tercantum sebagai anggota Partai Garda Perubahan Indonesia atau Partai Garuda.
Gema yang mengetahui laporan itu akhirnya mendapat undangan untuk datang ke kantor KPU, agar ia melakukan konfirmasi.
“Saya nggak pernah merasa mendaftar parpol. Bahkan saya juga kaget kok bisa ikut, padahal saya enggak pernah registrasi segala macam gitu, tapi terdaftar di situ,” katanya.
Pada 2023, Gema sempat melayangkan gugatan ke pengadilan terkait kasus pencatutan itu.
Dia menuntut ganti rugi materil sebesar 500 juta rupiah, serta kerugian immateril 2 miliar rupiah ke Partai Garuda.
“Data pribadi tidak boleh disalahgunakan. Sedangkan entah dia (parpol) dapat dari mana milik saya, kan. Tau-tau saya terdaftar di Parpol. Banyak kejadian seperti itu, tapi tidak ada tindak lanjutnya, cuma didiamkan saja. Ya, akhirnya saya gugat, meski akhirnya berdamai,” ujar Gema
Serayunews sempat mengajukan konfirmasi ke Partai Garuda soal pencatutan tersebut, namun hingga berita ini dirilis, Partai Garuda tidak memberikan respons.
Bawaslu Kabupaten Banyumas setidaknya mengantongi sebanyak 32 aduan dari warga yang mengalami kasus pencatutan identitas pribadi.
Sementara itu, jumlah laporan yang masuk ke KPU Kabupaten Banyumas jauh lebih banyak, mencapai 95 aduan.
Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu Kabupaten Banyumas, Yon Daryono mengakui adanya praktik pencatutan identitas warga sebagai anggota partai politik.
Menurutnya, semua aduan yang masuk ke Bawaslu langsung ditangani. Setelah memastikan pihak pelapor bukan anggota partai, pihaknya langsung mengirim data pelapor beserta saran perbaikan ke KPU.
Meski demikian, Yon tidak bisa memastikan berapa lama proses penghapusan terjadi. Pasalnya, menurut dia, hal tersebut di luar kewenangan Bawaslu.
“Persoalan berapa lamanya (proses penyelesaian), itu tergantung dari pihak-pihak yang terkait di luar Bawaslu. Kalau responnya dari partai tingkat kabupaten bagus, cepat. Tapi, ketika tidak, itu yang agak lama,” jelasnya.
Mengenai asal-usul data warga yang digunakan parpol, Bawaslu Banyumas mengungkapkan bahwa mereka tidak dibekali kewenangan untuk menelusurinya.
Menurut Yon, sumber data yang digunakan partai politik menjadi urusan internal partai, sehingga harus dipertanggungjawabkan kepada warga yang dirugikan.
Kendati ada laporan pencatutan identitas warga dalam proses verifikasi anggota parpol menjelang Pemilu 2024, Yon menegaskan pihaknya juga tidak bisa menjatuhkan sanksi kepada parpol.
“Kalau sanksi, tidak. Karena ini bagian dari administratif, sehingga yang dikeluarkan oleh kita, ya saran perbaikan atau sarper. Supaya itu ditindaklanjuti, diperbaiki oleh KPU maupun pihak partai,” terang Yon.
Senada dengan Yon, Kasubag Penanganan Pelanggaran, Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu dan Hukum, Bawaslu Kabupaten Banyumas, Fahmi Nur Wicaksono juga menjelaskan, pihaknya hanya mendapatkan akses berdasarkan data di Sipol KPU.
“Tentu yang menginput data-data anggota partai politik, kan, otomatis parpolnya. Data-data itu dilaporkan ke Bawaslu maupun KPU, kan, sudah jadi ya. Bukan bagaimana data itu diperoleh. Bawaslu tidak tahu data tersebut dari mana. Tapi, memang secara aturan, ya tentu, data-data yang diambil oleh parpol itu harus ada surat mereka bersedia masuk sebagai anggota partai politik,” tambah Fahmi.
Sementara itu, Ketua Divisi Teknis KPU Banyumas, Sidiq Fathoni menjelaskan, jika ada warga yang merasa identitasnya dicatut, tidak seharusnya mengajukan keberatan ke KPU.
“Misalkan dia tidak merasa menjadi anggota partai politik, ya dia mengajukan keberatannya bukan ke KPU. Yang nyatut kan bukan KPU, yang nyatut itu adalah partai politiknya,” jelasnya saat ditemui di Kantor KPU Banyumas pada Kamis, 27 November 2025.
Kemudian, menurut Thoni, warga yang merasa identitasnya dicatut, tinggal berkomunikasi dengan parpol. Lalu, minta mereka untuk membuat surat keterangan bukan anggota partai politik.
Namun, Thoni juga menilai praktik pencatutan ini terkadang bukan semata-mata kesalahan teknis, melainkan berkaitan dengan tindakan internal partai.
“Ini kan akal-akalannya partai politik aja, kadang asal-asal nyatut, dan sebagainya. Nah, ini kan kepentingan politis juga mungkin ya, itu kan, untuk mereka,” tambahnya.
Kendati begitu, Thoni menegaskan meski pencatutan NIK dilakukan oleh partai politik, KPU harus tetap memfasilitasi warga yang merasa dirugikan.
“Tapi pada intinya, ketika namanya tercatut, KPU bisa melayani, bisa memfasilitasi. Karena KPU adalah mitra, ya,” terangnya.
Sekretaris DPD NasDem Banyumas, Yayat Nur Muslimin menjelaskan, proses perekrutan anggota partai memang berlangsung masif sejak 2019.
Menurutnya, pada rentang 2019 hingga mendekati Pemilu 2024, Partai NasDem memang tengah gencar menambah anggota partai di tingkat desa hingga kecamatan.
Dalam prosesnya, rekrutmen itu melibatkan pengurus tingkat desa dan kecamatan, untuk mengumpulkan KTP serta foto milik warga.
Setelah terkumpul, data itu lalu diserahkan ke admin di tingkat kabupaten untuk dimasukkan dalam sistem, kemudian diproses untuk pembuatan Kartu Tanda Anggota (KTA) partai.
“Makanya ketika data disetor, berarti kita berasumsi bahwa itu adalah orang-orang yang memang sudah dengan sadar dan sudah ngobrol, mereka memberikan KTP-nya. Prosesnya sendiri kita nggak tahu ya kenapa KTP-nya sampai ke kita, yang memproses di lapangan itu kan bukan kita langsung, itu pengurus-pengurus kita yang di desa,” ujarnya.

Menurut Yayat, struktur kepengurusan level desa sangat “cair,” sering berganti, dan memiliki loyalitas rendah.
Bahkan, dia menyebut tidak jarang ada banyak warga bersedia direkrut menjadi anggota partai, lantaran berharap mendapatkan bantuan sosial atau sembako.
Namun ketika harapan itu tak terpenuhi, warga tersebut bisa saja berpindah dukungan. Lalu, mengklaim tidak pernah direkrut oleh partai, terang Yayat.
Di sisi lain, Yayat mengakui bahwa sistem verifikasi di tingkat bawah kemungkinan tidak berjalan ketat.
Sehingga, kondisi itu yang membuat partai kesulitan menelusuri siapa sebenarnya yang merekrut dan dari mana data diperoleh.
“Pengurus di tingkat desa itu cair banget. Di 2019 sampai hampir 2024 kemarin, kita hampir beberapa kali memang ganti pengurus di tingkat desa. Kemungkinan itu rekrutan dari pengurus-pengurus yang lalu, kita tidak bisa melacak. Harusnya (pengurus) melakukan verifikasi. Cuma bentuk verifikasinya seperti apa, ya, itu yang perlu kita pertanyakan juga,” katanya.
Yayat juga menanggapi munculnya laporan yang masuk ke Bawaslu soal korban yang merasa tidak pernah memberikan data. Menurutnya, kebocoran terjadi dari relawan atau tim caleg NasDem pada Pemilu 2019.
“Dalam artian, caleg mereka memang harus setor sekian ratus-sekian ribu orang untuk KTA NasDem untuk mereka dapat bantuan secara finansial dari partai. Itu kemungkinan ada kebocoran dari situ,” katanya.
Yayat menambahkan, calon legislatif sering kali bukan kader murni partai, melainkan orang luar yang memiliki modal besar dan jaringan luas.
“Partai-partai sekarang, caleg itu yang penting mereka punya uang, punya kemauan, dan modal sosial yang lumayan,” tambahnya.
Penelitian Hanan Anisyah Sutopo dan Sidi Ahyar Wiraguna dari Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul berjudul “Sanksi Hukum Terhadap Pelanggaran Perlindungan Data Pribadi Dalam Praktik Kampanye Politik: Analisis Praktik Pencatutan KTP Tanpa Persetujuan” menjelaskan, praktik pencatutan data pribadi dalam proses pemilu di Indonesia masih menjadi persoalan yang berulang.
Meski Indonesia telah memiliki Undang Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP), efektivitasnya dinilai belum sekuat regulasi global seperti General Data Protection Rregulation (GDPR) di Eropa.
Kondisi tersebut membuat Indonesia menghadapi tantangan serius, khususnya dalam menghentikan aksi pencatutan data pribadi oleh partai politik maupun korporasi.
Dalam risetnya, para peneliti mendorong penguatan penegakan hukum, peningkatan kapasitas lembaga pengawas data, serta harmonisasi regulasi nasional.
Dengan tindakan tersebut, perlindungan data pribadi dinilai dapat berjalan secara konsisten dan efektif.
Sementara itu, temuan serupa juga diungkap dalam jurnal berjudul “Pertanggungjawaban Partai Politik Dalam Pencatutan Data Diri Seseorang Tanpa Persetujuan” karya Rahajeng Suci Damayanti, Diva Neubya Putri, dan Deva Estari Sinabutar dari Universitas Kristen Satya Wacana.
Dalam penelitiannya, para penulis menyoroti bahwa pencatutan data diri oleh partai politik hingga kini tidak dirumuskan secara jelas dalam Undang Undang Pemilu.
Ketiadaan norma hukum tersebut membuat pencatutan data tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu, meskipun dampaknya sangat merugikan masyarakat.
Jurnal itu juga menjelaskan bahwa pencatutan data kerap menjadi penghalang bagi warga dalam berbagai proses administratif, termasuk pendaftaran sebagai aparatur sipil negara atau pengawas pemilu.
Lemahnya penegakan hukum, baik pidana maupun perdata, ditambah tidak adanya sanksi yang memberikan efek jera, membuat praktik pencatutan data diri terus menjamur dalam setiap kontestasi politik.
Para penulis menilai penting adanya perumusan tindak pidana pencatutan data diri dalam regulasi pemilu, dengan memberikan sanksi yang tegas seperti blacklisting partai atau individu pelaku, dan hukuman lain yang dapat menekan angka pelanggaran.
Meskipun UU PDP telah mengakomodasi perlindungan data pribadi, tren pencatutan data diri belum menunjukkan penurunan signifikan. Hal ini memperlihatkan masih lemahnya efek jera terhadap partai politik yang melanggar.
Seira Tamara, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) berpendapat, praktik pencatutan NIK menunjukkan ada masalah dalam proses rekrutmen yang dilakukan oleh partai.
Syarat pendaftaran parpol yang cukup rumit misalnya, menjadi sesuatu yang berat untuk parpol.
Lantaran, mereka harus ada memiliki anggota di 75 persen kabupaten/kota dan kepengurusan di 50 persen kecamatan.
“Parpol harus memiliki anggota sekurang-kurangnya 1000 orang atau 1 per 1000 jumlah penduduk serta memiliki kantor tetap untuk kepengurusan di setiap tingkatan. Upaya partai dalam membangun basis massa yang valid lewat upaya perekrutan dan kaderisasi belum berjalan dengan baik,” terangnya.
Praktik pencatutan NIK yang dilakukan oleh partai, harusnya berpotensi melanggar ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU PDP, hal tersebut buntut pengumpulan data pribadi yang dilakukan oleh partai dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Akibatnya, muncul kerugian subjek data pribadi, yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum.
Warga yang mengetahui NIK mereka dicatut, umumnya tidak pernah merasa memberikan KTP ke partai dan tidak mempunyai KTA. Sehingga, muncul indikasi ada upaya ilegal dalam mengumpulkan data.
“Hal ini tentu juga sudah menimbulkan kerugian bagi pemilik data pribadi, terlebih jika mereka merupakan penyelenggara atau pengawas pemilu maupun ASN, yang secara aturan tidak diperbolehkan menjadi anggota partai,” jelasnya.
Oleh karena itu, menurut Seira, syarat pendaftaran partai harus diperbaharui dan disesuaikan dengan konteks terkini. Sehingga, prosesnya tidak sulit dan kesempatan berkontestasi semakin lebar.
Seira juga menyebutkan, koalisi masyarakat sipil merekomendasikan untuk melakukan kodifikasi Pemilu, misalnya, mengenai perubahan jumlah syarat keanggotaan partai untuk daftar menjadi peserta pemilu.
“Verifikasi dan pengawasan penyelenggara pemilu dalam tahapan pendaftaran partai juga perlu diperketat mekanismenya, agar praktik curang yang merugikan tadi tidak kembali terjadi di kemudian hari,” pungkasnya.***