SERAYUNEWS- Setiap Hari Raya Idul Adha, umat Islam di seluruh dunia melaksanakan ibadah qurban sebagai wujud penghambaan kepada Allah SWT.
Ritual ini bukan sekadar penyembelihan hewan ternak, melainkan bentuk nyata dari ketaatan, rasa syukur, serta semangat berbagi terhadap sesama.
Dalam perspektif Al-Qur’an, qurban merupakan manifestasi dari nikmat yang melimpah sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Kawtsar:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak (al-Kawtsar). Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.” (QS. Al-Kawtsar: 1–2)
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Saizu Purwokerto, Enjen Zaenal Muttaqin dalam artikelnya menyebut, ibadah qurban tidak hanya hadir dalam syariat Nabi Muhammad SAW.
Sejak zaman Nabi Adam AS, tradisi ini telah dikenal sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan.
Al-Qur’an mengabadikan kisah Qabil dan Habil dalam Surah Al-Mā’idah ayat 27, di mana Allah menerima qurban Habil yang tulus, namun menolak persembahan Qabil yang tidak disertai keikhlasan.
Nabi Nuh AS pun mempersembahkan qurban setelah selamat dari bencana banjir besar.
Tradisi tersebut berlanjut hingga kisah paling monumental: pengorbanan Nabi Ibrahim AS yang siap menyembelih putranya, Ismail AS, demi menjalankan perintah Allah.
Kisah ini menjadi dasar utama ibadah qurban dalam Islam dan diabadikan dalam Surah Ash-Shaffat ayat 100–113.
Pengalaman spiritual Nabi Ibrahim dan Ismail menjadi simbol ketundukan total kepada kehendak Ilahi. Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba dari surga, sebagai penghargaan atas ketaatan mereka.
Peristiwa ini kemudian diabadikan dalam ritual ibadah haji, seperti melempar jumrah dan penyembelihan hewan qurban.
Takbir dan tahlil yang dikumandangkan selama hari tasyrik juga merupakan refleksi dari zikir yang dilantunkan para nabi dan malaikat saat momen tersebut.
Pada masa Nabi Musa AS, qurban dikenal dalam dua bentuk: qurban untuk Allah dan persembahan untuk berhala.
Syariat Islam kemudian menghapus bentuk kedua, dan hanya membolehkan qurban yang ditujukan kepada Allah. Dalam tradisi Nabi Musa, qurban dibagi menjadi tiga jenis:
Praktik qurban juga dikenal di luar agama samawi. Bangsa Yunani mempersembahkan hewan sembelihan yang ditaburi garam sebagai simbol sedekah.
Di Romawi, qurban dilakukan kepada dewa-dewa, dan peserta ritual memakan daging qurban sebagai bentuk pengambilan berkah (tabarruk). Upacara ini disertai percikan air madu dan bunga oleh para pendeta.
Sejarah kelam juga mencatat praktik qurban manusia, seperti di Persia, Romawi, dan Mesir Kuno. Di Mesir, perempuan dihias dan dikorbankan ke Sungai Nil sebagai persembahan.
Tradisi ini akhirnya dihapus oleh Umar bin ‘Ash atas perintah Khalifah Umar bin Khattab setelah Islam masuk ke Mesir.
Islam secara tegas menghapus praktik qurban manusia dan menetapkan hanya tiga jenis hewan ternak yang boleh disembelih: unta, sapi, dan kambing.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa menyembelih qurban setelah salat Idul Adha, maka ia telah melaksanakan qurban.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berbeda dari tradisi sebelumnya, Islam menekankan aspek sosial dalam ibadah qurban.
Daging hewan sembelihan tidak hanya untuk pelaku ibadah, tetapi juga wajib dibagikan kepada yang membutuhkan.
Inilah dimensi sosial qurban yang menjadikan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi keadilan, kepedulian, dan kemanusiaan.
Ritual qurban adalah jembatan antara ketaatan spiritual dan kepedulian sosial. Sejarah panjangnya menunjukkan bahwa ajaran Islam hadir sebagai penyempurna nilai-nilai keagamaan terdahulu, menegaskan kemanusiaan, dan memuliakan kehidupan.
Dalam dunia yang kian individualistis, qurban menjadi oase kemanusiaan yang menghidupkan kembali semangat berbagi dan kasih sayang.