Siapa yang tidak mengenal RA Kartini, salah satu cerminan bagaimana kualitas seorang perempuan dan pribadi profesional seorang perempuan. Ia tidak hanya cerdas, melainkan menjadi pelopor bahwa seorang perempuan harus berpikir di manapun dan kapanpun. Sehingga, pemikiran-pemikirannya tidak terkungkung pada konsepsi-konsepsi yang tidak ramah gender.
Andai Kartini tidak lahir pada 21 April 1879, pastilah tidak akan muncul ledakan keperempuanannya hingga ia menulis Door Duisfernis Tot Licht yang kemudian diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang (P.N. Balai Pustaka, 1957). Ia tak lain adalah cermin tragedi perempuan di abad itu, saat harkat perempuan terperosok dan cuma berkubang ”riwa-riwi” di sumur, dapur, dan kasur. Batinnya dilecut gelisah, dipukul topan badai keterbelakangan. Dirundung cita-cita, dihambat kasih sayang. Dikerangkeng adat dan dibutakan oleh peradaban bangsanya sendiri yang lama nian terjajah.
Dalam surat- surat, kartini sering mengungkapkan beberapa kesukaannya terhadap sahabat penanya yang berada di belanda. Hobi Kartini juga cukup banyak di antaranya mendengarkan musik, bermain di pantai, dll. Akan tetapi menurut Kartini hanya bukulah yang dapat menjadi sahabat yang mampu nenghiburnya dan membukakan cakrawala keilmuan untuk memperjuangkan rakyatnya dengan bacaannya yang kental ini, kartini data melahirkan sebuat tulisan yang dapat menyuarakan aspirasi rakyatnya.
Lingkungan Edukatif
Edukatif merupakan sesuatu hal yang dapat mengajarkan seseorang mengenai hal- hal yang bersifat pengetahuan yang bisa berguna bagi perkembangan kognitif mereka. (Henri Tajel: 1981). Segala sesuatu yang dapat mendidik memberikan pelajaran dan amanat bisa disebut dengan edukatif, dan pendidikan adalah edukasi.sedangkan Lingkungan pendidikan adalah tempat berlangsungnya proses pendidikan. Baik itu pendidikan formal, pendidikan non formal, maupun pendidikan informal.
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif. Di sisi lain proses perkembangan dan pendidikan manusia tidak hanya terjadi dan dipengaruhi oleh sisitem pendidikan formal ( sekolah) saja. Manusia selama hidupnya akan mendapatkan pengaruh dari keluarga sekolah, dan masyarakat luas. Ketiga lingkungan tersebut disebut sebagai tripusat pendidikan. Dengan kata lain proses perkembangan pendidikan untuk mencapai hasil yang maksimal tidak hanya bergantung pada bagaimana sistem pendidikan formal dijalankan. Namun tergantung juga pada lingkungan pendidikan yang berada di luar lingkungan formal .
Seiring dengan berkembangnya zaman, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah gaya hidup manusia baik dalam pekerjaan, bersosialisasi, maupun belajar. Pada era masa kini, yang ditandai dengan abad pengetahuan, dimana informasi banyak tersebar dan teknologi sangat berkembang. Manusia dapat dengan mudah mengakses informasi. Di manapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun kita dapat mengakses informasi dengan mudah.
Ketika ada ungkapan “Perempuan sebagai tiang Negara” atau :didiklah perempuan”, maka kita mendidik bangsa ( mantan presiden Tanzinah ). Itu berarti betapa strategisnya kedudukan perempuan dan melipat gandakan manfaat adanya pergeseran- pergeseran pola komunikasi yang disebabkan oleh perkembangan industri barang dan jasa, wanita tetap mempersepsi tugas mendidik anak sebagai tugas utama. Melalui perannya sebagai ibu, dia bertindak secara nyata: memelihara, memberi contoh yang baik, mensugesti, memotivasi, melarang, menghukum, mengerjakan sesuatu bersama anak, merangsang berfikir, memuji, dan lain sebagainya. Sebagai anggota masyarakat ia bergaul dan saling mempengaruhi dengan orang- orang lain, suatu arena potensi menjadi tanah gambar bagi pertumbuhan berbagai pengetahuan sikap dan keterampilan- keteranpilan.
Kartini Masa Kini dan Pembangunan Lingkungan Edukatif
Menjadi Kartini masa kini tidak sesederhana seperti yang sering dikenang pada peringatan setiap 21 April, yaitu bukan sekedar perempuan berkebaya dengan kaki dililit kain sehingga tampak feminim, namun bukan pula perempuan yang sebebasnya berpakaian atau yang tidak berpakaian, tetapi bukan sekedar yang berjilbab terjuntai, bukan sekedar perempuan yang mengunci diri atau dikunci di rumah, bukan pula perempuan yang sebebasnya keluar rumah, bukan sekedar perempuan karir dan sekolahan, bukan sekedar kerja di kantoran, bukan sekedar yang dapat bertinju, mengangkat besi, menjadi kondektur seperti laki-laki selama ini.
Kartini abad masa kini tentu adalah seseorang yang berjenis kelamin perempuan yang tidak mengingkari kodrat biologisnya untuk menikah, hamil, melahirkan, dan memberi ASI kalau memungkinkan, memiliki kehidupan pribadi, dapat mengembangkan potensi dirinya secara maksimal, mengembangkan sikap kejiwaan sebagai manusia, memiliki kelebihan dan kekurangan, memiliki harkat dan derajat yang setara sebagai manusia, dan bertujuan untuk mengabdi kepada Tuhan melalui karya-karya yang diupayakannya dengan modal potensi yang dimilikinya itu.
Kartini masa kini adalah seorang perempuan mandiri, berkepribadian, bertaqwa, memiliki kelebihan dan kelemahan, serta mampu berinteraksi dengan sesama dan lawan jenisnya untuk bersinergi saling melengkapi dengan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya dalam suatu relasi harmonis. Perempuan yang memiliki potensi yang sanggup dikembangkan dan memperoleh kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensinya seoptimal mungkin Perempuan yang difahami oleh lingkungan latar belakang persoalan saat mereka mengalami kegagalan atau kesalahan dengan sikap yang tidak menyudutkan, tetap didukung memperoleh kesempatan beberapa kali sampai mereka dapat membuktikan diri bahwa perempuan pun layak menerima bintang.
Oleh sebab itu dengan melakukan pembangunan lingkungan edukatif, dapat membantu mengembangkan generasi yang cerdas seperti RA Kartini. Bahkan sekalipun mempunyai anak laki-laki, anak tersebut akan terbiasa terdidik tanpa kesalahpahaman mengenai gender. Sehingga, konsepsi-konsepsi patriarkhi dapat terputus melalui lingkungan tersebut begitupula seterunya. Adapun pembangunan lingkungan edukatif bisa dilakukan pada beberapa tempat di anataranya:
Pertama, Lingkungan Edukatif Keluarga, Perbedaan individu di mana pun dan sampai kapan pun tetap ada, karena perbedaan individu merupakan sunnatullah, apakah perbedaan individu perempuan dengan perempuan, perbedaan individu laki-laki dengan laki-laki,maupun perbedaan individu perempuan dengan laki-laki. Oleh karena perbedaan individual merupakan sunnatullah, maka selayaknya orangtua dan pendidik tidak perlu membandingkan prestasi satu dengan yang lain untuk membedakan perlakuan istimewa bagi yang berprestasi sambil memojokkan kepada yang tidak berprestasi, juga tidak mendefinisikan sefihak di awal sosialisasi yang memagari perkembangan individu untuk anak perempuan dan laki-laki.
Beberapa hal dari lingkungan keluarga dapat dimodifikasi untuk pengembangan diri perempuan agar bisa menjadi “Kartini” masa kini, yaitu: Orangtua selayaknya memberi kesempatan yang sama kepada anak perempuan dan laki-laki untuk mengembangkan potensi kemampuannya seoptimal mungkin dengan dukungan moral dan material yang tidak dibedakan, Membantu anak agar memiliki sikap asertif, sehingga mereka berani mengemukakan keinginan, ide, dan alasan-alasan yang masuk akal dan realistis Orangtua mengajak bertukar pikiran dengan anak menyangkut masa depannya, Orangtua menghindari untuk membandingkan kemampuan antara anak satu dengan lainnya, terutama anak perempuan dengan laki-laki, karena setiap individu memiliki kelebihan dan kekurangan pada aspek tertentu.
Kedua, Lingkungan Edukatif di Sekolah. Lingkungan sekolah tidak kalah pengaruhnya dengan lingkungan keluarga dalam mengantarkan siswi-siswinya setara kemampuannya dengan siswa-siswanya yang laki-laki. Perasaan kemampuan yang berbeda antara anak perempuan dan laki-laki hasil awal sosialisasi dari orangtua dan lingkungan keluarga, kemudian sering diperkuat oleh lingkungan sekolah, terutama sekali setelah masa pubertas dan dewasa muda ketika identitas dewasa dibentuk (Lynn, 1972).
Lingkungan sekolah, guru-guru, pimpinan sekolah dapat dimodifikasi sedemikian rupa untuk menunjang siswa/i menjadi sosok imago ideal di masa mendatang, dengan jalan: Menunjukkan perhatian kepada potensi siswa/i dan memiliki keterampilan untuk memfasilitasi mereka mencapai prestasi, tanpa membedakan jenis kelamin,Membantu siswi dalam seleksi pendidikan, Memotivasi dan membantu siswi ambil bagian dalam pertukaran nasional/ internasional, Berkonsultasi dengan orangtua tentang kemajuan pendidikan dan perkembangan siswa/i, Pimpinan sekolah memperhatikan fasilitas yang dibutuhkan
Ketiga, Lingkungan Edukatif di Masyarakat. Dalam lingkungan masyarakat, banyak berkembang stereotype yang dilabelkan kepada kaum perempuan yang mengakibatkan pembatasan dan pemiskinan yang merugikan kaum perempuan. Di samping itu, karena peran perempuan diposisikan untuk mengelola rumah tangga, maka jika perempuan memasuki peran publik, ia tidak dapat melepaskan sedikitpun dari beban peran domestik, meski kontribusi ekonomi mereka cukup signifikan, perempuan tidak mendapat penghargaan yang sama dengan laki-laki.
Beberapa hal yang dapat dilakukan masyarakat untuk kemajuan perempuan antara lain sebagai berikut: Masyarakat berpartisipasi memberikan kontribusi kepada program percepatan kemajuan perempuan, Masyarakat tidak berprasangka negatif kepada perempuan yang aktif, sehingga tidak menyurutkan niat perempuan tersebut untuk terus mengejar cita-citanya, Masyarakat perlu memahami fungsi reproduksi perempuan yang direncanakannnya sesuai dengan pembagian kesempatan untuk mengembangkan tugas reproduksi dan produksi, Masyarakat harus meningkatkan diri dalam kesadaran kesetaraan gender, sehingga tidak terjadi lagi prasangka negatif kepada perempuan yang ingin dan mencapai kemajuan,
Kelima, Lingkungan Edukatif di Negara, Dalam lingkup negara, banyak kebijakan Pemerintah yang dibuat tanpa “menganggap penting” kedudukan kaum perempuan. Bentuk dan mekanisme dari proses subordinasi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain menunjukkan perbedaan. Misalnya, anggapan perempuan itu “emosional”, sehingga tidak tepat memimpin partai atau menjadi manager.
Yang paling penting bagi perempuan dalam semua lingkungan adalah perempuan harus terbebas dari hambatan psikologis dalam meraih cita-cita tertingginya untuk berprestasi setara dengan laki-laki sebagai kebutuhan aktualisasi diri. Pendidikan harus disadari bukan satu-satunya alat untuk memperoleh pendapatan ekonomi, tetapi jelas bahwa pendidikan dapat meningkatkan harkat dan martabat seseorang. Perempuan terdidik yang dapat mendongkrak keuangan rumah tangga masih tidak terbebas dari hambatan psikologis yang merintangi kakinya, akibat peran ganda yang harus dipikulnya, seolah kaki mereka berpijak pada dua dunia, satu kaki berada di rumah, dan kaki lain berada di luar rumah, sehingga perempuan mengalami masalah psikologis yang belum berakhir. Kedua beban ini harus dicarikan jalan kelaur dengan berkompromi antar jenis kelamin. Dengan demikian, emansipasi perempuan sebagaimana yang didambakan Kartini akan tercapai manakala laki-laki juga beremansipasi. Emansipasi bukan berarti mengeluarkan perempuan dari rumah.
Oleh Feli Dwi Anggita
Mahasiswa Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam
UIN Walisongo Semarang