SERAYUNEWS – Angka kematian bayi di Kabupaten Banyumas masih menjadi perhatian serius, dengan catatan antara 150 hingga 200 bayi meninggal setiap tahun, terutama pada masa perinatal atau tujuh hari pertama setelah kelahiran. Kondisi ini menjadi alarm bahaya bagi sistem kesehatan ibu dan anak di wilayah tersebut.
Kepala Bidang Pengendalian Penduduk DPPKBP3A Banyumas, Henny Soetikno, menegaskan bahwa kasus kematian bayi tidak berdiri sendiri. Masih ada tantangan lain yang saling terkait seperti angka kelahiran tinggi, kasus stunting, dan kematian ibu.
“Angka kematian ibu melahirkan umumnya disebabkan hipertensi dalam kehamilan, kanker, dan penyakit jantung,” ujarnya, Jumat (27/6/2025).
Menurut Henny, pengendalian penduduk di Banyumas tidak hanya fokus pada jumlah kelahiran, tetapi juga pada kualitas hidup masyarakat. Saat ini, Total Fertility Rate (TFR) Banyumas berada di angka 2,3, artinya satu keluarga rata-rata memiliki tiga anak, sementara target nasional maupun daerah adalah TFR 2,1, atau dua anak cukup.
“Kalau tidak dikendalikan, akan terjadi persaingan sumber daya seperti sandang, pangan, lapangan kerja, bahkan bisa menimbulkan kekerasan. Maka penting menekan angka kelahiran, tapi juga memastikan anak-anak yang lahir tidak stunting, sehat, dan berasal dari keluarga yang siap,” kata dia.
Salah satu tantangan besar yang dihadapi adalah rendahnya partisipasi pasangan usia subur dalam program Keluarga Berencana (KB). Banyak pasangan yang sudah menikah dan memiliki dua anak, namun enggan menggunakan alat kontrasepsi, terutama Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) seperti implan dan IUD.
“Sering terjadi kehamilan lagi di usia 35 tahun ke atas. Risiko kehamilan di usia tersebut sangat tinggi, mulai dari hipertensi, bayi lahir kecil, hingga potensi stunting,” ujarnya.
Masalah stunting juga menjadi perhatian khusus. Berdasarkan data DPPKBP3A, terdapat sekitar 14.000 anak di Banyumas yang mengalami gagal tumbuh atau stunting, dengan wilayah terbanyak di Kecamatan Cilongok, disusul Purwokerto Barat dan Purwokerto Selatan. Stunting bukan hanya akibat faktor ekonomi, tetapi juga karena minimnya edukasi dan kesadaran tentang pola asuh, gizi, dan kesiapan menjadi orang tua.
“Kami temukan banyak pasangan menikah muda, sekitar 10–20 persen dari total pasangan usia subur. Mereka secara fisik belum siap. Hal ini meningkatkan risiko komplikasi kehamilan, salah satunya preeklamsia,” kata Henny.
Untuk menekan angka kematian bayi dan ibu, Pemkab Banyumas terus menggencarkan program “Satu Desa Satu Bidan” sebagai garda terdepan pendampingan ibu hamil dan proses persalinan. “Kalau masih ada mbah dukun bayi, kami tidak langsung menyingkirkan, tapi minta mereka mendampingi bidan. Karena mereka tidak punya dasar medis,” ujar.
DPPKBP3A juga aktif memberikan edukasi kepada remaja dan calon pengantin agar lebih siap secara mental, fisik, dan ekonomi sebelum menikah. Pendekatan ini dinilai penting untuk membentuk keluarga berkualitas dan mencegah pernikahan karena keterpaksaan.
“Kalau remaja sudah paham sejak dini, mereka tidak akan menikah karena tekanan sosial atau ekonomi. Mereka bisa punya perencanaan hidup, dan tahu tanggung jawab sebagai orang tua,” kata dia.
Dengan berbagai tantangan tersebut, Pemkab Banyumas terus berupaya mengintegrasikan pengendalian penduduk dengan program kesehatan dan pemberdayaan keluarga. Diharapkan langkah-langkah ini mampu menurunkan angka kematian bayi sekaligus menciptakan generasi masa depan yang sehat dan berkualitas.