SERAYUNEWS- Tim Dosen UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto melakukan riset kolaborasi membongkar lembaran kelam sejarah lingkungan Kabupaten Pemalang di masa penjajahan.
Riset ini menguak bagaimana kebijakan kolonial Belanda sejak 1870 hingga awal 1940-an telah meninggalkan luka mendalam bagi ekosistem dan masyarakat lokal.
Peneliti UIN Saizu Purwokerto, Sidik Fauji, menyebutkan bahwa Kabupaten Pemalang dahulu terkenal sebagai wilayah subur dan kaya sumber daya.
Namun, kondisi itu berubah drastis setelah pemerintah kolonial menerapkan sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) dan membuka pintu bagi investasi swasta asing di sektor perkebunan.
“Hutan dibabat habis, sawah diganti kebun tebu, dan sungai tercemar limbah industri. Semua demi kepentingan ekonomi kolonial,” ungkap Sidik.
Undang-Undang Agraria 1870 menjadi awal mula masuknya modal asing secara besar-besaran ke tanah Jawa, termasuk Pemalang. Akibatnya, berdirilah sejumlah pabrik gula seperti Pabrik Gula Comal, Petarukan, Banjardawa, dan Sumberharjo.
Peneliti teknik lingkungan, Shintawati Dyah Purwaningrum, menyatakan bahwa meskipun kolonial membangun rel kereta dan saluran irigasi, infrastruktur tersebut lebih berfungsi sebagai sarana distribusi hasil panen ke pelabuhan ekspor, bukan untuk kesejahteraan rakyat.
“Alih fungsi lahan dan pembukaan hutan menyebabkan banjir besar di awal 1900-an. Limbah pabrik mencemari sungai dan merusak kualitas air tanah,” jelas Shintawati.
Ilham Nur Utomo, anggota tim riset, menambahkan bahwa petani mereka paksa menanam komoditas ekspor seperti tebu dan kopi. Mereka kehilangan kebebasan bertani dan tidak lagi bisa menanam padi untuk konsumsi sendiri.
“Kondisi ini memicu kelaparan massal di banyak desa. Rakyat kehilangan kemandirian pangan,” kata Ilham.
Sidik Fauji juga mengungkapkan bahwa pencemaran air sumur menyebabkan merebaknya penyakit seperti disentri dan malaria. Pada 1920-an, wabah penyakit tersebut menghantui banyak keluarga di sekitar area pabrik.
Di sisi lain, hasil panen yang melimpah mereka ekspor ke Eropa dan hanya menguntungkan pihak Belanda. Buruh lokal hanya menerima upah minim tanpa jaminan kesehatan atau keselamatan kerja.
“Inilah wajah asli kapitalisme kolonial. Rakyat ditindas atas nama modernisasi industri,” kritik Naufal Kresna Diwangkara, peneliti sejarah ekonomi.
Di tengah tekanan dan pengawasan ketat, sebagian petani berani menanam padi secara sembunyi-sembunyi demi bertahan hidup. Namun, mereka kerap mendapat hukuman jika ketahuan aparat kolonial.
“Pemalang menjadi contoh konkret bagaimana kolonialisme menghancurkan ekologi dan sistem sosial masyarakat lokal,” tegas Fariz Nizar, akademisi muda dari UIN Saizu.
Hingga kini, bangunan tua bekas industri gula masih berdiri di berbagai sudut Pemalang. Meski sebagian sudah lapuk dan tak terurus, bangunan itu menyimpan jejak sejarah yang sarat makna.
Sulistya Putri, guru sejarah asal Jepara yang turut menyimak hasil penelitian ini, menekankan pentingnya kesadaran ekologis sejak dini.
“Eksploitasi alam yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek justru mengundang bencana berkepanjangan,” ujarnya.
Kini, Pemalang menghadapi berbagai tantangan lingkungan seperti banjir dan persoalan pengelolaan sampah.
Penelitian ini menjadi pengingat bahwa akar persoalan ekologis di daerah ini tidak terlepas dari praktik kolonial masa lalu.
Solusi ke depan harus mengedepankan keberlanjutan, keadilan sosial, dan kesejahteraan masyarakat lokal.