SERAYUNEWS- Arab Saudi terus menunjukkan kekuatan ekonominya untuk mewujudkan Visi 2030 melalui transformasi besar-besaran, dengan minyak bumi tetap menjadi pilar utama.
Ketika harga minyak dunia melonjak pada 2022, Saudi Aramco menyalip Apple sebagai perusahaan dengan valuasi tertinggi di dunia, meraih laba fantastis senilai US$161 miliar.
Peneliti FEBI UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, Kholilur Rahman dalam keterangannya menyebut, konflik Rusia-Ukraina serta pemulihan ekonomi China mendorong proyeksi harga minyak tetap tinggi.
Diversifikasi ekonomi yang dilakukan Saudi membuahkan hasil signifikan. Tahun 2022, pertumbuhan ekonomi Arab Saudi mencapai 7,6 persen tercepat secara global mendorong nilai ekonomi negara menembus US$1 triliun untuk pertama kalinya.
Menurut Kholilur Rahman, angkanya bahkan melampaui negara-negara G7 dan kekuatan ekonomi besar seperti Tiongkok, India, serta Indonesia.
Inflasi Arab Saudi juga terkendali pada level 3 persen. Angka pengangguran terus menurun dan partisipasi perempuan dalam dunia kerja melonjak drastis hingga 200 persen dalam lima tahun terakhir.
Saudi tidak hanya bertumpu pada minyak fosil. Negara ini mulai mengembangkan energi terbarukan, memanfaatkan wilayah yang luas dan sinar matahari yang intens untuk pembangkit listrik tenaga surya dan angin.
Targetnya, 50 persen pasokan listrik nasional berasal dari energi bersih pada 2030. Investasi besar juga diarahkan pada teknologi hidrogen, termasuk pembangunan fasilitas amonia hijau terbesar di dunia.
Presiden AS Donald Trump mengusulkan rencana kontroversial: mengubah Jalur Gaza menjadi kawasan wisata kelas dunia layaknya “Riviera Timur Tengah”.
Dalam visinya, Amerika Serikat akan menguasai Gaza, membersihkan sisa-sisa perang, meratakan puing bangunan, dan membangunnya kembali. Trump bahkan menyarankan agar sekitar dua juta warga Palestina dipindahkan ke lokasi lain.
Rencana ini bukan baru. Menantu Trump, Jared Kushner, sempat mengusulkan hal serupa tahun lalu: mengosongkan Gaza dan menjadikannya resor pantai internasional di bawah pengawasan AS.
Pernyataan Trump pada 4 Februari 2025 dalam konferensi pers bersama Benjamin Netanyahu memicu gelombang reaksi keras dari berbagai pihak.
Organisasi HAM menyebut rencana ini mengandung unsur ethnic cleansing, karena berusaha mengusir warga Palestina dari tanah kelahiran mereka dengan dalih pembangunan.
Putra Mahkota Arab Saudi, Muhammad Bin Salman (MBS), secara tegas menolak rencana Trump. Ia menyatakan bahwa Arab Saudi tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum terbentuk negara Palestina yang merdeka.
Sebagai bentuk sikap, MBS menginisiasi pertemuan darurat dengan para pemimpin negara-negara Arab di Riyadh. Arab Saudi, Mesir, Yordania, UEA, dan Qatar merencanakan konferensi tingkat tinggi pada 20 Februari 2025 untuk menyusun respons bersama.
Pertemuan ini menjadi pembuka bagi KTT Arab darurat yang dijadwalkan digelar di Kairo pada 27 Februari 2025. Tujuannya, membentuk barisan Arab yang solid dalam menentang rencana AS mengusir warga Palestina dari Gaza dan menjadikan wilayah itu aset pariwisata internasional.
Penolakan keras dari negara-negara Arab memperlihatkan kebangkitan solidaritas regional yang jarang terjadi. Riyadh menegaskan bahwa pembentukan negara Palestina menjadi syarat utama sebelum proses normalisasi hubungan dengan Israel dapat dilanjutkan.
Menurut teori asymmetric interdependence dari Robert O. Keohane dan Joseph S. Nye Jr., hubungan Arab Saudi-AS merupakan interaksi saling tergantung yang tidak seimbang, tetapi saling menguntungkan.
Hubungan ini mencakup tiga level:
AS memiliki sensitivitas tinggi terhadap kebijakan energi Saudi. Perubahan produksi minyak oleh Saudi sangat memengaruhi harga energi global, yang berdampak langsung pada ekonomi Amerika.
Meski begitu, Arab Saudi lebih tahan terhadap tekanan ekonomi jangka pendek dari AS, berkat cadangan devisa lebih dari US$400 miliar. Namun dalam jangka panjang, ketergantungan militer Saudi pada AS menempatkan posisi kerajaan pada kerentanan menengah.
Untuk mengurangi ketergantungan ini, Arab Saudi memperkuat kemitraan strategis dengan China dan Rusia. Diversifikasi hubungan ini memberi MBS ruang manuver lebih luas dalam menghadapi tekanan geopolitik dari Washington.
Rencana Donald Trump membangun “Riviera Gaza” dengan menggusur rakyat Palestina menuai penolakan luas dan memicu kebangkitan solidaritas dunia Arab.
Di tengah tekanan geopolitik ini, Putra Mahkota MBS memanfaatkan kekuatan ekonomi dan pengaruh regionalnya untuk melawan rencana AS dan mengedepankan pembentukan negara Palestina sebagai prioritas.
Dengan posisi tawar yang semakin kuat, Arab Saudi tak hanya menunjukkan kepemimpinan regional, tetapi juga menguji batas ketergantungan historisnya terhadap Amerika Serikat.