SERAYUNEWS – Singkong tidak akan dapat terpisahkan dari kehidupan masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat.
Tumbuhan umbi akar ini berfungsi penting dalam bidang ekonomi, wisata, hingga pangan di kampung tersebut.
Singkong berkontribusi menambah penghasilan warga melalui tepung kanji yang diperdagangkan di pasar.
Olahan singkong menjadikan kampung adat ini terkenal hingga menjadi tujuan para wisatawan yang menyukai kuliner dan budaya.
Dalam aspek pangan, masyarakat mengolah ketela ubi tersebut menjadi makanan pokok yang terkenal sebagai rasi.
Bagi masyarakat Kampung Adat Cireundeu, rasi merupakan makanan utama layaknya nasi. Rasi terbuat dari singkong yang mengamali proses pengolahan menjadi granul.
Penampilan saat matang hampir menyerupai nasi dari beras padi, berbentuk butiran dan pulen, hanya saja rasi memiliki warna yang sedikit kecokelatan.
Makanan ini bisa dinikmati dalam keadaan hangat atau dingin dan dapat bertahan hingga tiga hari tanpa perlu dihangatkan.
Selain secara biasa, rasi juga dapat Anda olah menjadi nasi goreng dan nasi tumpeng.
Rasi atau singkatan dari beras singkong yang menjadi makanan pokok masyarakat di Kampung Adat Cireundeu, yang terletak di Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, telah menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
Masyarakat di Kampung Cireundeu tidak menggunakan beras padi sebagai bahan makanan utama, melainkan singkong yang diolah menjadi granul.
Serbuk singkong inilah yang kemudian menjadi nasi. Penampilannya tidak jauh berbeda dengan nasi yang berasal dari beras padi.
Putih, kenyal, dan cocok berpadu dengan berbagai lauk untuk santapan sehari-hari.
Masyarakat Kampung Adat Cireundeu di waktu lampau juga mengonsumsi nasi.
Namun, pada tahun 1918, Masyarakat Kampung Adat Cireundeu mulai mencari pengganti nasi padi sebagai makanan pokok.
Pencarian tersebut dipelopori oleh Omah Asmanah, anak perempuan Haji Ali, seorang sesepuh di kampung tersebut.
Para sesepuh memutuskan untuk tidak menggunakan padi dari Dewi Pohaci atau Dewi Sri. Orang Sunda menyebut hal itu nenden kersa nyai.
Nenden kersa nyai juga merupakan bentuk perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda untuk merdeka secara lahir maupun batin.
Warga mencari berbagai alternatif, mulai dari umbi, jagung, hanjeli, hingga sorgum, tetapi semua belum memenuhi harapan.
Kemudian, pada tahun 1924 warga baru menemukan teknologi pengolahan beras singkong.
Dalam proses pembuatannya, terdapat tujuh tahap mengolah singkong menjadi rasi, yaitu pengupasan, pencucian, pemarutan, pemerasan, penjemuran, penumbukan, dan pengayakan.
Orang akan mengupas singkong, lalu mencuci hingga bersih, dan memarut dengan mesin atau secara manual.
Selanjutnya, ia akan memeras dan mengambil ampasnya. Setelah itu, ampas dijemur hingga kering yang biasanya memerlukan waktu tiga hari.
Proses berlanjut dengan penumbukan dan terakhir pengayakan menggunakan saringan khusus.
Jika ingin menanak nasi, simpan beras singkong dalam wadah kemudian siram perlahan menggunakan air.
Antara air dan beras menggunakan perbandingan satu banding satu. Setelah itu, kukus beras singkong dalam panci atau tungku.
Rasi bukan sekadar makanan, melainkan simbol ketahanan budaya dan kearifan lokal Kampung Adat Cireundeu yang patut kita lestarikan.***