SERAYUNEWS – Peristiwa penculikan dan pembunuhan Kepala Cabang Pembantu (KCP) sebuah bank BUMN di Jakarta, Mohamad Ilham Pradipta (37), masih menyisakan banyak pertanyaan.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena pola kejahatannya terbilang rapi, melibatkan banyak orang.
Tidak hanya itu, kasus ini bahkan didalangi oleh sosok yang selama ini dikenal cukup populer di dunia pendidikan.
Hari Rabu, 20 Agustus 2025, menjadi titik awal tragedi. Seusai menghadiri rapat dengan koleganya di sebuah supermarket kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur, Ilham berjalan menuju mobilnya.
Kamera CCTV merekam detik-detik ia membuka pintu kendaraan, tanpa menyadari ada mobil lain yang sengaja diparkir di sampingnya.
Beberapa orang kemudian menyeretnya masuk ke dalam mobil putih itu. Sejak momen tersebut, jejak Ilham hilang.
Esok harinya, Kamis pagi (21 Agustus), tubuhnya ditemukan di Serang Baru, Kabupaten Bekasi. Kondisinya mengenaskan, dengan tangan, kaki, dan mata terikat.
Tak butuh waktu lama bagi polisi untuk mengungkap siapa saja yang terlibat. Polda Metro Jaya melalui Subdit Jatanras Ditreskrimum bergerak cepat.
Hingga pekan terakhir Agustus, sudah ada 15 orang ditangkap, termasuk para pelaku lapangan dan mereka yang disebut sebagai “aktor intelektual”.
Empat nama diduga menjadi otak penculikan dan pembunuhan ini: C, DH, YJ, dan AA.
Penangkapan dilakukan di sejumlah kota, mulai dari Solo, Jawa Tengah, hingga kawasan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.
Dari keempat nama itu, satu sosok membuat publik terperangah: DH alias Dwi Hartono.
Ia bukan kriminal jalanan, melainkan seorang pengusaha bimbingan belajar online.
Bahkan, di dunia maya, ia cukup dikenal sebagai motivator dengan ribuan pengikut.
Kontras inilah yang membuat kasus ini semakin menarik perhatian.
Bagaimana mungkin seorang yang tampil dengan citra positif di ruang publik, membangun bisnis pendidikan, dan menginspirasi banyak orang, justru terseret dalam kejahatan keji yang merenggut nyawa seseorang?
Polisi menyebut peran Dwi Hartono bukan sekadar ikut-ikutan, melainkan berada di level aktor intelektual.
Dengan kata lain, ia diduga terlibat dalam merancang skenario penculikan dan pembunuhan.
Dari keterangan sementara, para pelaku lapangan disebut menerima uang muka sekitar Rp50 juta untuk menjalankan perintah.
Namun, tujuan akhir dari aksi sadis ini belum sepenuhnya jelas.
Apakah murni karena persoalan pribadi, utang piutang, atau ada motif lain yang lebih besar? Hingga kini penyidik masih mendalami.
Publik pun menunggu jawaban: mengapa seorang kepala cabang bank bisa menjadi target, dan mengapa seorang pengusaha pendidikan bisa terlibat?
Fakta bahwa korban bekerja di sektor keuangan membuat banyak spekulasi beredar.
Ada yang menduga kasus ini terkait masalah bisnis, ada pula yang melihatnya sebagai persoalan internal yang dibawa keluar.
Namun, polisi memilih berhati-hati dan hanya menyampaikan bahwa penyelidikan masih berjalan.
Satu hal yang pasti, pembunuhan ini bukan tindakan spontan.
Melihat jumlah pelaku, lokasi yang dipilih, hingga cara eksekusi, tampak ada perencanaan matang.
Inilah mengapa penyidik menyebut peran para “aktor intelektual” sebagai kunci untuk membuka misteri sebenarnya.***