SERAYUNEWS- Perdebatan seputar sound horeg kembali mencuat setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penggunaan sound system berdaya ledak tinggi dalam kondisi tertentu.
Fenomena ini menuai pro dan kontra, terutama di pedesaan, tempat sound horeg sudah menjelma menjadi simbol pesta rakyat dan sarana penggerak ekonomi.
Sebagian masyarakat memandang sound horeg sebagai bentuk hiburan dan ekspresi budaya.
Namun, suara yang meledak hingga 135 desibel menimbulkan dampak serius mulai dari gangguan kesehatan, kerusakan lingkungan, hingga degradasi moral sosial.
Lalu bagaimana kontroversi sound horeg dalam kacamata akademisi. Berikut kami sajikan ulasan pandangan dari Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, Akademisi UIN Saizu Purwokerto:
Masyarakat menciptakan istilah “sound horeg” dari kata sound (suara) dan horeg, kata dalam bahasa Jawa yang berarti getar atau menggelegar.
Berbeda dari sound system profesional yang mempertimbangkan teknis akustik, sound horeg menitikberatkan pada dentuman bass dan kekuatan volume yang mengguncang.
Masyarakat sering menghadirkan sound horeg dalam berbagai acara, seperti pernikahan, parade desa, kontes joget, hingga unjuk kekuatan antar komunitas.
Namun, di balik suara keras itu, muncul pula fenomena joget erotis, mabuk-mabukan, bahkan bentrokan antarwarga.
MUI Jatim menyatakan haram penggunaan sound horeg bila melampaui batas toleransi suara dan menimbulkan mudarat.
WHO menetapkan batas aman kebisingan pada 85 desibel selama maksimal 8 jam. Sementara itu, menurut dr. Nyilo Purnami, spesialis THT dari Universitas Airlangga, suara 91 desibel hanya aman selama 2 jam.
Maka, paparan 120-135 desibel jelas membahayakan kesehatan, terutama pendengaran.
Dalam fikih Islam, berlaku kaidah dar’ul mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih mencegah kerusakan harus lebih diutamakan daripada meraih manfaat.
Maka, bila sound horeg menimbulkan lebih banyak keburukan, penggunaannya tak lagi bisa dibenarkan.
Para pendukung sound horeg sering menyuarakan manfaat ekonominya. Mereka menyebut kegiatan ini mampu menghidupkan pedagang kecil, menyerap tenaga kerja, hingga membuka ruang budaya.
Namun, mari kita telaah lebih jujur: siapa yang sebenarnya paling diuntungkan?
Biaya sewa sound horeg bisa mencapai jutaan rupiah, apalagi jika digelar atas nama RT atau desa.
Warga sering mendapat tekanan sosial untuk ikut iuran. Meski hanya “lima ribuan,” tekanan moral membuat mereka merasa tak punya pilihan.
Kondisi ini jelas membebani rakyat kecil. Maka, kita perlu bertanya ulang: apakah ini pantas disebut “ekonomi keumatan”? Bukankah ekonomi umat seharusnya membebaskan, bukan memaksa?
Beberapa pihak berkilah bahwa kerusakan sosial bukan tanggung jawab pemilik sound.
Mereka mengklaim hanya menyediakan suara, bukan penyebab kerusuhan atau maksiat. Namun, argumen ini tidak utuh.
Jika mereka hanya ingin diukur dari sisi “suara,” maka manfaat ekonomi yang sering mereka klaim pun tidak bisa mereka sandang sepenuhnya.
Kita tidak bisa hanya menghitung dampak positif dan menolak tanggung jawab atas dampak negatifnya.
Dalam usul fikih, ketika suatu aktivitas mengandung dua potensi manfaat dan mudarat maka jika mudaratnya lebih besar, aktivitas itu menjadi haram.
Apalagi jika mudaratnya mencakup kerusakan fisik (seperti rumah retak akibat getaran), gangguan psikologis (tidur terganggu), dan degradasi moral (aurat terbuka, konsumsi alkohol, hingga kericuhan).
Islam secara jelas mengatur etika dalam menggunakan suara. Dalam QS. Luqman:19, Allah menyuruh kita merendahkan suara, dan menyamakan suara keras dengan ringkikan keledai.
Kitab I’anatut Thalibin bahkan menyebut bahwa mengeraskan suara dalam salat bisa menjadi haram jika mengganggu orang lain.
Rasulullah SAW juga bersabda dalam hadis Muslim: “Muslim sejati adalah yang tidak menyakiti orang lain dengan lisan dan tangannya.”
Maka, bila tangan bisa melukai, suara pun bisa menyakiti. Terlebih jika volumenya memaksa dan tak memberi ruang bagi warga lain untuk menolak.
MUI tak serta-merta mengharamkan sound horeg. Jika kita gunakan secara proporsional, tidak memaksa warga iuran, tidak memicu kemaksiatan, dan volumenya terkendali, maka penggunaannya masih diperbolehkan.
Beberapa solusi bijak yang bisa diterapkan, antara lain:
Sound horeg bukan sekadar soal suara keras. Ia menyentuh isu yang lebih dalam: keadilan sosial, kesehatan masyarakat, moralitas, dan hak untuk merasa tenang di rumah sendiri.
Kita tidak boleh membiarkan suara keras menenggelamkan nurani.
Sudah saatnya masyarakat dan pemerintah mengatur ulang pemanfaatan sound horeg secara adil dan beradab. Hiburan tidak boleh merusak, dan ekonomi tidak boleh memaksa.
Jika suara yang kita putar justru membuat orang lain tidak damai, mungkin sudah waktunya kita diam sejenak dan mendengar kembali suara akal sehat serta nilai-nilai keislaman.