SERAYUNEWS- Tahlilan sudah menjadi tradisi sakral di tengah masyarakat muslim Indonesia.
Kegiatan ini berupa pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an dan Kalimat Thayyibah seperti tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir, yang pahalanya dihadiahkan untuk arwah orang yang telah meninggal.
Umumnya, tahlilan berlangsung pada hari ke-1 sampai ke-7 setelah kematian, serta pada hari ke-40, ke-100, ke-1000, dan rutin setiap malam Jumat.
Namun, bagaimana hukum tahlilan dalam pandangan para ulama?
Melansir artikel Mughni Labib, Dosen Fakultas Syariah UIN Saizu Purwokerto, berikut ulasan mendalam berdasarkan pandangan empat mazhab dan ulama terkemuka.
Mayoritas ulama dari Mazhab Hanafi, sebagian Maliki, sebagian Syafi’i, serta Hanbali, sepakat bahwa menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan dzikir kepada mayit hukumnya boleh dan bermanfaat bagi mereka.
Namun, sebagian ulama Mazhab Maliki dan Syafi’i berpandangan sebaliknya. Mereka menyatakan bahwa pahala bacaan tidak sampai kepada mayit, sehingga menghadiahkannya tidak dibenarkan.
Syekh Dasuqi mencatat pendapat ini dalam At-Taudhih, yang didukung oleh Syekh Qarafi dan Ibnu Abi Jamrah.
Mayoritas ulama membolehkan pengkhususan waktu untuk beribadah, termasuk membaca Al-Qur’an dan berdzikir.
Hal ini didasarkan pada hadits sahih dari Ibnu Umar, yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW rutin mengunjungi Masjid Quba setiap Sabtu (HR. Bukhari No. 1193).
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan kebolehan mengkhususkan hari tertentu untuk amal saleh.
Syekh Nawawi al-Bantani dalam Nihayatuz Zain menyebutkan bahwa sedekah untuk mayit pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan Haul (tahunan) adalah hal yang telah menjadi kebiasaan masyarakat dan tidak bertentangan dengan syariat.
Imam Thawus al-Yamani, seorang tabi’in, bahkan menganjurkan untuk memberi makan pada tujuh hari pertama setelah kematian karena diyakini saat itu mayit sedang dalam ujian kubur (HR. Abu Nu’aim, Hilyatul Auliya).
Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa bersedekah untuk mayit hukumnya boleh, dan pahalanya sampai kepada mereka.
Hadits dari Aisyah radhiyallahu anha dalam riwayat Muslim (No. 1004) menceritakan seorang lelaki yang ingin bersedekah atas nama ibunya yang wafat tiba-tiba. Rasulullah SAW bersabda, “Ya, sedekahmu akan bermanfaat untuk ibumu.”
Hadits serupa juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, yang menyatakan bahwa sedekah atas nama orang tua yang meninggal dapat menghapus dosanya (HR. Muslim No. 1630).
Imam Nawawi menyimpulkan bahwa hadis-hadis ini menjadi landasan ijmak ulama tentang kebolehan sedekah untuk mayit.
Berdasarkan pandangan mayoritas ulama, tahlilan hukumnya boleh dalam Islam. Hal ini karena:
Dengan demikian, tahlilan menjadi salah satu bentuk amal kolektif yang sarat dengan nilai sosial, spiritual, dan syar’i.