SERAYUNEWS – Tradisi Merti Bumi kembali terselenggara di Dusun Kalipagu, Desa Ketenger, Kecamatan Baturraden, Kabupaten Banyumas, pada Kamis (17/7/2025). Kelompok Kewargian Lemah Wangi dengan penuh penghayatan menyelenggarakan prosesi adat ini, merefleksikan nilai-nilai budaya yang mendalam.
Widya Putri, seorang peneliti budaya dari Fakultas Ilmu Budaya dan Sastra Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, mengamati bahwa kegiatan ini adalah manifestasi dari proses revitalisasi budaya Jawa yang kini semakin terlihat di berbagai penjuru Banyumas.
“Kalau saya sih melihatnya ini sebagai revitalisasi budaya. Tradisi-tradisi lama seperti suran, Merti Bumi, dan ritual-ritual di punden mulai muncul kembali, tidak hanya di Lemah Wangi, tapi juga di tempat lain seperti Taman Sari dan desa-desa lainnya,” kata Widya, Kamis (17/7/2025) siang.
Menurutnya, kebangkitan budaya ini bukanlah hal yang mendadak. Pasca-pandemi Covid-19, kesadaran masyarakat untuk melestarikan budaya tampak meningkat. Hal ini tercermin dari partisipasi warga yang kian aktif dalam menghidupkan kembali upacara adat, serta menjamurnya pelaku ekonomi yang menyediakan perlengkapan sesaji dan atribut budaya.
“Kalau kita lihat dari praktik di lapangan, sejak 2001 dan semakin kuat setelah 2022, makin banyak pengikut tradisi ini. Tahun ini terasa lebih semarak, lebih banyak partisipasi warga,” ujarnya.
Widya menjelaskan bahwa Kewargian Lemah Wangi adalah sebuah kelompok yang secara swadaya menjaga situs petilasan. Tempat ini diyakini sebagai lokasi di mana para resi dan pengikut ajaran Hindu-Buddha dahulu bersemadi, ditandai dengan simbol-simbol seperti lingga-yoni yang mengindikasikan kuatnya warisan spiritual masa lalu.
“Mereka menyebutnya petilasan, bukan makam. Ini dulu tempat ajaran-ajaran besar berkembang, termasuk Siwa dan Buddha. Jadi sebenarnya warisan ideologis Jawa itu masih terasa kuat,” ujarnya.
Perlu dicatat, kegiatan Merti Bumi kali ini diinisiasi secara mandiri oleh Kewargian Lemah Wangi, tanpa campur tangan pemerintah desa atau dinas terkait. Kelompok ini bahkan sedang dalam proses legalisasi kelembagaan di bawah Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).
Lebih lanjut, Widya memandang fenomena ini sebagai kebangkitan identitas dan ideologi budaya Jawa yang sempat meredup. “Sekarang justru muncul lagi sebagai daya tarik lokal, bahkan bisa diarahkan ke wisata religi yang khas, sekaligus mendongkrak UMKM di sekitarnya,” kata dia.
Ia juga menekankan pentingnya peran pemerintah dalam memajukan budaya. Sejak era Presiden SBY hingga kini di masa pemerintahan Jokowi, program pelestarian budaya melalui dana desa telah mendorong masyarakat untuk kembali pada akar tradisi mereka.
“Tradisi kini tidak hanya dilestarikan, tapi juga diberdayakan. Ini penting sebagai ciri khas daerah, sekaligus menjembatani sejarah leluhur dengan generasi masa kini,” pungkasnya.
Ketua Panitia Merti Bumi, Purnomo, menyampaikan bahwa prosesi dimulai dengan kirab hasil bumi yang dibawa warga menuju lokasi petilasan. Selanjutnya, dilanjutkan dengan doa bersama dan pembagian tumpeng kepada masyarakat. “Tradisi ini sebagai ungkapan syukur atas hasil bumi dan bentuk penghormatan kepada leluhur yang dahulu menjaga alam dan wilayah ini,” ujarnya.
Ia berharap tradisi ini dapat terus dipertahankan dan menjadi media pembelajaran bagi generasi mendatang. “Anak-anak muda harus tahu dan ikut terlibat agar tidak tercerabut dari akar budaya kita sendiri,” kata Purnomo.